Indonesia · Insurance · Syariah / sharia · Takaful

Undang Undang Perasuransian – Bagian 3

Lanjutan isi Undang-Undang tersebut menekankan peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional. Hal itu bisa terwujud manakala industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari maupun pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha.

Untuk itu, Undang-Undang Perasuransian mengatur bahwa Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia dan penutupan Objek Asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri.

Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, melakukan upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan reasuransi syariah dalam negeri. Lebih dari itu, Undang-Undang ini memungkinkan pemberian fasilitas fiskal kepada perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong peningkatan pemanfaatan Asuransi atau Asuransi Syariah dalam rangka pengelolaan risiko.

Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan.

Pengaturan lebih lanjut yang diamanatkan Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa Keuangan, terutama dalam hal pengaturan lini usaha dan produk Asuransi dan Asuransi Syariah serta pengaturan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, akan menentukan besar atau kecilnya peran industri perasuransian tersebut.

Pengaturan dalam Undang-Undang ini juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya perlindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik (best practices) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan dan pengawasan industri perasuransian.

– bagian 3 –

Indonesia · Insurance · Syariah / sharia · Takaful

UU Perasuransian – 02

Selanjutnya dalam upaya untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif, dilakukan penetapan ketentuan baru dan penyempurnaan ketentuan yang telah ada, antara lain:

• penetapan landasan hukum bagi penyelenggaraan Usaha Asuransi Syariah dan Usaha Reasuransi Syariah;

• penetapan status badan hukum bagi Perusahaan Asuransi berbentuk usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan;

• penyempurnaan pengaturan mengenai kepemilikan perusahaan perasuransian yang mendukung kepentingan nasional;

• pemberian amanat lebih besar kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah untuk mengelola kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pemasaran layanan jasa asuransi dan asuransi syariah, termasuk kerja sama keagenan; dan

• penyempurnaan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga tata kelola perusahaan yang baik, kesehatan keuangan dan perilaku usaha yang sehat.

~ bagian 02 ~

Indonesia · Insurance · Syariah / sharia · Takaful

UU Perasuransian – 01

Dengan telah disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) Perasuransian di penghujung September lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) penulis ingin berbagi materi UU tsb. Semoga bermanfaat.

Di pembukaan UU disebutkan dasar pertimbangan penerbitan UU tsb sbb:

a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif akan meningkatkan pelindungan bagi Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta, dan berperan mendorong pembangunan nasional;

b. bahwa dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global, perlu mengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan undang-undang yang baru;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perasuransian;

– bagian 1 –

EHN Personal Thought · Syariah / sharia · Syiar

#LabaTanpaMemperdaya

Pagi ini sembari menunggu boarding, sambil membuka-buka device, alhamdulillah saya mendapatkan inspirasi dari status sahabat saya. Jujur saya menilai itu sangat dahsyat. Sederhana tetapi sangat dalam maknanya.

#LabaTanpaMemperdaya
Laba Tanpa Memperdaya
@akhsinmu

Langsung saya kirim message kepada sahabat saya itu menanyakan sekiranya itu merupakan tagline perusahaan atau organisasi karena saya ingin co-pas di status saya bahkan menjadi tulisan ini.

Beliau ternyata sangat welcome dan menyebutkan itu “karya” pribadi beliau dan menjadi tekadnya dalam berikhtiar di sebuah lembaga keuangan syariáh (LKS).

Dari sudut pandang saya pribadi, tagline itu sungguh mengena dan sesuai dengan prinsip syariáh.

Kita semua sebagai seorang makhluk universal (muslim maupun non-muslim) diajarkan untuk ber-ikhtiar dan memperoleh penghidupan terbaik di dunia.

Sepengetahuan saya, sesuai syariáh, tujuan hidup seorang muslim sesungguhnya adalah akhirat yang baik, sedangkan dunia hanyalah sebagai perantara untuk menuju kehidupan akhirat yang abadi. Rabbana aatina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabbannaar.

Celaka, sungguh celaka, apabila kehidupan dunia tidak mampu membawa manusia ke kehidupan akhirat yang baik. Sungguh lebih celaka lagi bila di dunia saja sudah tidak baik, di akhirat juga tidak baik.

Kembali ke tagline tadi, setiap kali kita beraktifitas harus diniatkan demi kebaikan bagi orang lain. Junjungan Rasulullah pernah mengajarkan kepada umatnya “Khairunnas anfa’uhum linnas” yang artinya kurang-lebih “Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” [riwayat imam Bukhari dan imam Muslim]

Mencari laba, tentunya sangat dianjurkan. Aturan muamalah dalam Islam mempunyai beberapa prinsip utama, salah satunya adalah tidak menzalimi dan tidak dizalimi alias tidak merugikan dan tidak dirugikan.

Tentunya tagline #LabaTanpaMemperdaya sangat sesuai dengan salah satu prinsip muamalah tsb. Kita boleh memperoleh keuntungan tanpa membohongi orang lain. Jangan mentang-mentang bertujuan memperoleh keuntungan, segala cara diambil.

Saya pun ingin menyelaraskan tagline kerabat saya tsb dengan salah satu prinsip utama saya:
“winning is everything, fair play is beyond everything”.

Menang itu segalanya, tetapi kejujuran itu di atas segalanya | meraih untung itu segalanya, tetapi cara memperoleh keuntungan itu, yang lebih penting.

Hal ini cukup kontradiksi dengan pendapat rekan saya lainnya. Beberapa waktu lalu, teman saya berpendapat bahwa walaupun kita bekerja di LKS, terap saja kita dituntut untuk mendapatkan profit. Pemilik pasti menuntut pekerja untuk memperoleh laba sebesar-besarnya.

Saya sendiri sempat berpandangan bahwa ketika kita bermuamalah (dalam setiap kesempatan), baik di LKS maupun non-LKS, seyogyanya tidak melulu mengedepankan laba dan laba saja. Terlebih bagi pejuang syariáh di LKS, kita semua punya kewajiban men-syiar-kan bahwa ajaran luhur Islam adalah rahmatan lil alamin. Menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bukan cuma menjadi rahmat bagi diri sendiri, bukan cuma bagi keluarga, bukan cuma bagi perusahaan, bukan cuma bagi nasabah, bukan cuma bagi pemilik modal, tetapi juga bisa menjadi rahmat bagi masyarakat sekitar yang tidak terlibat dalam aktifitas kita bahkan menjadi rahmat bagi alam (dan benda mati) lainnya. Resource belong to society.

Di dalam hati dan pikiran saya masih bergejolak, secara etika, apakah layak bila sebuah perusahaan memperoleh laba yang sangat besar sementara alam sekitarnya tidak memperoleh manfaat dari keberadaan perusahaan tsb.

Karena saya berpegang kepada ajaran yang menyuruh kita menjauhi yang tidak berguna, saya sendiri merasa tidak banyak gunanya berdebat (kusir) tentang permasalahan itu dengan rekan saya itu.

Saya hanya bisa mendoakan orang yang berani mengatakan bahwa memperoleh yang haram saja sulit, apalagi yang halal…

Nauzubillah, summa nauzubillah

Apakah saya terlalu kolot? Old fashion? Masuk kategori “garis keras”? Apakah hanya saya sendirian yang punya pemikiran seperti itu?

Hare geeneee…

Well, with faith in your heart, you’ll never walk alone. Saya meyakini dengan iman di hati, saya tidak akan pernah sendirian.

Semoga berguna bagi kita semua.

Wallahu’alam ~

#demiINDONESIAyanglebihbaiklagi

EHN Personal Thought · Indonesia · Insurance · Syariah / sharia · Takaful

Asuransi Indonesia – Bagian 3

Salah satu point yang penting terkait perasuransian syariáh adalah akan disahkan operasional asuransi syariáh secara full-fledged (operasi penuh, bukan lagi melalui windows atau unit syariah).

Dalam kurun waktu 6 bulan sejak diundangkan, setiap perusahaan yang memiliki unit syariáh wajib sudah menyampaikan business plan mengenai portofolio syariah-nya. Akan dibawa kemana, akan dijadikan apa.

Apabila tidak ada perubahan isi sesuai Draft RUU Perasuransian – Pasal 67, adalah sbb:

(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah memiliki izin unit syariáh pada saat ditetapkannya undang-undang ini wajib:

A) mengalihkan seluruh portofolio asuransi syariahnya kepada Perusahaan Asuransi Syariáh atau Perusahaan Reasuransi Syariáh yang memiliki kegiatan usaha yang sejenis

B) mengembalikan hak pemegang polis / peserta yang menolak untuk dialihkan kepesertaannya

C) mengembalikan izin usaha unit syariahnya

Paling lama 3 (tiga)* tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang ini

(2) Untuk memenuhi ketentuan pada ayat (1), Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan rencana kerja kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Undang-Undang ini

* informasi terakhir hingga tulisan ini disusun, bahwa angka tersebut disetujui DPR menjadi 10 (sepuluh) tahun.

Apabila RUU tersebut benar akan disahkan dan berlaku dalam waktu dekat, kondisi ini akan banyak menentukan arah masa depan usaha perasuransian di Indonesia.

Ke depan, tidak bisa lagi perusahaan asuransi (konvensional) menjual produk asuransi syariáh ke nasabahnya. Begitu pun, agen (utamanya di asuransi jiwa) tidak bisa lagi menjual dua produk bersamaan, karena akan terbentur aturan bahwa seorang agen hanya boleh bekerja mewakili sebuah perusahaan.

Contoh kasus, semisal perusahaan asuransi PT ABC, selain beroperasi secara konvensional, ia juga mempunyai unit syariáh. XYZ adalah sebuah perusahaan asuransi syariáh (full-fledged).

Bila RUU diterapkan maka ABC harus memilih di antara 3 opsi tersedia.

ABC bisa memilih opsi 1 sesuai pasal RUU tsb, yaitu mengalihkan portofolio syariahnya ke perusahaan asuransi syariáh (full-fledged). Untuk menyikapinya, ABC mempunyai beberapa opsi turunan, yaitu:
i/ Mengalihkan ke existing perusahaan full-fledged (XYZ)
ii/ Mengakuisisi perusahaan full-fledged (XYZ)
iii/ Mendirikan perusahaan full-fledged baru (RST)

Masing-masing pilihan tersebut tentunya mempunyai sisi positif dan negatif yang akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya.

~ bersambung ~