Insurance · Syariah / sharia · Takaful

Ada Apa Dengan Industri Asuransi Syariah?

PELAKU USAHA 58
• ASURANSI UMUM SYARIAH 25
• FULL-FLEDGE 6
• UNIT SYARIAH 19
• ASURANSI JIWA SYARIAH 29
• FULL-FLEDGE 8
• UNIT SYARIAH 21
• REASURANSI SYARIAH 4
• FULL-FLEDGE 1
• UNIT SYARIAH 3

GABUNGAN ASURANSI SYARIAH
• ASET TUMBUH 3,53%
• KONTRIBUSI BERTAMBAH 16,38%
• KLAIM TURUN 0,24%
• TOTAL ASET 45,02T
• TOTAL KONTRIBUSI 27,57T
• TOTAL KLAIM 20,04T
• TOTAL INVESTASI 36,49T
• DENSITAS 99.599 PER ORANG PER TAHUN

ASURANSI UMUM SYARIAH
• ASET TUMBUH 17,86%
• KONTRIBUSI BERTAMBAH 52,16%
• KLAIM NAIK 48,25%
• TOTAL ASET 7,73T
• TOTAL KONTRIBUSI 3,10T
• TOTAL KLAIM 0,94T
• TOTAL INVESTASI 5,53T

ASURANSI JIWA SYARIAH
• ASET BERKURANG 0,23%
• KONTRIBUSI BERTAMBAH 10,65%
• KLAIM TURUN 3,22%
• TOTAL ASET 34,89T
• TOTAL KONTRIBUSI 22,85T
• TOTAL KLAIM 17,74T
• TOTAL INVESTASI 29,16T

REASURANSI SYARIAH
• ASET TUMBUH 22,51%
• KONTRIBUSI BERTAMBAH 61,82%
• KLAIM NAIK 20,85%
• TOTAL ASET 2,41T
• TOTAL KONTRIBUSI 1,62T
• TOTAL KLAIM 1,36T
• TOTAL INVESTASI 1,98T

EHN Personal Thought · Insurance · Syariah / sharia · Takaful

Keagenan Asuransi Syariah

pic agen

 

Di suatu ketika, dalam sebuah safar (perjalanan) saya mendapatkan blast sebuah whatssapp group komunitas. Isi pesan tersebut sederhana, berupa poster (iklan) produk asuransi syariah yang dikirimi seorang Agen (tenaga pemasar) asuransi. Sejurus kemudian, saya pun mencoba membuka link yang ada di poster tersebut.

 

Saya dapati website yang memang dibangun oleh agen yang terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan asuransi syariah, di asuransi jiwa syariah dan asuransi umum syariah. Kedua perusahaan ini merupakan perusahaan asuransi syariah pertama yang ada di tanah air.

 

Di laman website tersebut, dicantumkan bahwa tenaga pemasar mempunyai lisensi untuk menjual produk asuransi (konvensional). Ditampilkan nomor lisensi agen dari asosiasi asuransi jiwa (konvensional) dan asosiasi asuransi umum (konvensional).

 

Namun sayang sekali, sebagai seorang tenaga pemasar asuransi syariah, ybs tidak/belum mencantumkan nomor lisensi untuk memasarkan produk asuransi syariah, baik untuk asuransi jiwa syariah maupun asuransi umum syariah. Terlebih yang bersangkutan terafiliasi dengan perusahaan asuransi syariah.

 

Tergerak untuk itu, barangkali tidak ada salahnya saya menulis beberapa aturan dan praktik yang (seharusnya) terjadi di industri. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat baik bagi saya sendiri maupun bagi yang membacanya.

 

Aturan hukum tentang keagenan banyak tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), utamanya dalam POJK Nomor 69 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

 

Pertama-tama, kita pastikan dulu bahwa definisi dari Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (25) dari POJK Nomor 69 tahun 2016. Artinya, Agen Asuransi merupakan kepanjangan tangan dari Perusahaan, bukan perwakilan dari Pemegang Polis (nasabah).

 

Sebelum masuk lebih jauh, perlu disampaikan bahwa sebagaimana disebutkan dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, untuk usaha asuransi terbagi atas:

(1) usaha asuransi umum

(2) usaha asuransi jiwa

(3) usaha reasuransi

(4) usaha asuransi umum syariah

(5) usaha asuransi jiwa syariah, dan

(6) usaha reasuransi syariah.

 

Selain usaha asuransi masih terdapat bidang usaha lain di perasuransian seperti:

(a) usaha pialang asuransi

(b) usaha pialang reasuransi, dan

(c) usaha penilai kerugian asuransi.

 

Untuk bahasan terkait keagenan maka kita hanya akan fokus pada bidang usaha (1), (2), (4) dan (5).

 

POJK nomor 69 tahun 2016 pada Pasal 16 ayat (1) menyebutkan aturan bahwa Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang menggunakan Agen Asuransi wajib memastikan bahwa Agen Asuransi:

(a) memiliki sertifikat keagenan sesuai dengan bidang usahanya; dan

(b) terdaftar di OJK.

 

Mengacu pada aturan di POJK di atas, utamanya pada butir (a) dapat diartikan bahwa setiap Agen Asuransi yang ingin memasarkan produk asuransi maka harus mendapatkan sertifikasi keagenan sesuai dengan bidang usahanya. Apabila Agen Asuransi ingin memasarkan produk asuransi umum maka ia wajib memiliki sertifikasi keagenan untuk bidang usaha asuransi umum. Apabila Agen Asuransi ingin memasarkan produk asuransi umum syariah, maka ia wajib memiliki sertifikasi keagenan untuk bidang usaha asuransi umum syariah. Apabila Agen Asuransi ingin memasarkan produk asuransi jiwa, maka ia wajib memiliki sertifikasi keagenan untuk bidang usaha asuransi jiwa. Apabila Agen Asuransi ingin memasarkan produk asuransi jiwa syariah, maka ia wajib memiliki sertifikasi keagenan untuk bidang usaha asuransi jiwa syariah.

 

Lebih dalam, dapat kita maknai bahwa seorang Agen Asuransi, walaupun mempunyai sertifikasi keagenan asuransi umum, maka ia tidak dapat memasarkan produk asuransi umum syariah. Sebaliknya apabila seorang Agen Asuransi hanya memiliki sertifikasi keagenan asuransi jiwa syariah, maka ia tidak dapat memasarkan produk asuransi jiwa (konvensional) atau memasarkan produk asuransi umum (konvensional) atau memasarkan produk asuransi umum syariah. Alhasil, bagi seorang Agen Asuransi, apabila ia ingin mendapatkan seluruh sertifikasi maka ia berkewajiban mendapatkannya dari masing-masing bidang usaha.

 

Kalau diibaratkan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Ketika seseorang ingin mengendarai mobil, maka ia wajib memiliki SIM A. Ketika seseorang ingin mengendarai bus, maka ia wajib memiliki SIM B. Ketika seseorang ingin mengendarai motor, maka ia wajib memiliki SIM C. Ketika seseorang ingin mengendarai semua jenis kendaraan, maka ia wajib memiliki seluruh jenis SIM.

 

Kembali ke topik pembahasan seputar Agen Asuransi Syariah, maka sesuai regulasi yang berlaku, Agen tersebut wajib memiliki sertifikasi dari Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) apabila ia ingin memasarkan produk asuransi syariah.  Lebih jauh, Perusahaan dimana Agen tersebut berada wajib melaporkan Agen tersebut ke AASI. Untuk selanjutnya AASI yang melaporkan Agen tsb ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setelah Agen ini terdaftar di OJK, maka Agen tsb baru diperkenankan memasarkan produk Asuransi Syariah.

 

Sebagai catatan, untuk saat sekarang ini, AASI masih menaungi Asuransi Umum Syariah dan Asuransi Jiwa Syariah, baik yang berbentuk Perusahaan Asuransi Syariah yang beroperasi secara penuh (full fledged) maupun yang masih berupa Unit Syariah di Perusahaan Asuransi. Namun untuk sertifikasi, tetap terpisah antara Agen Asuransi Umum Syariah dan Agen Asuransi Jiwa Syariah.

 

Barangkali, sebuah saran yang bijak bagi Agen yang menjadi subyek ini, apabila memang ybs sudah mempunyai sertifikasi dari AASI, akan lebih baik apabila ditampilkan di website ybs. Selain sesuai regulasi, tentunya ini juga memberikan kenyamanan dan kepastian bagi (calon) nasabah.

 

 

Salam Asuransi Syariah –

EHN Personal Thought · Indonesia · Insurance · Syariah / sharia · Takaful

Wakaf sebagai Bentuk Manfaat bagi Semesta Alam

Wakaf manfaat asuransi syariah dan hasil investasi syariah merupakan sebuah produk yang baru mendapatkan fatwa dari DSN-MUI. 
Sesuai dengan istilah yang disematkan, wakaf berarti menahan sebagian (harta) dengan tujuan untuk disedekahkan (ke pihak lain yang membutuhkan).
Wakaf manfaat asuransi syariah, bisa diartikan sebagai men-sedekahkan harta yang diterima dari manfaat asuransi syariah, termasuk hasil investasinya. 
Wakaf ini sendiri sebenarnya menunjukkan makna sesungguhnya dari keberadaan asuransi syariah yang merupakan perwujudan sebuah lembaga keuangan syariah, sesuai dengan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. 
Kehadiran Islam, bukan hanya memberikan manfaat bagi para penganutnya. Islam bukan hanya memberikan manfaat bagi manusia. Tetapi lebih jauh dari itu, Islam menjadi rahmat bagi semesta alam.
Hal yang serupa, terjadi di asuransi syariah. Seyogyanya, sebagai sebuah lembaga keuangan syariah, manfaat yang dihasilkan bukan hanya bagi pihak-pihak yang melakukan akad perjanjian (peserta dan pengelola). Tetapi juga memberikan manfaat bagi pihak lain yang bahkan tidak terlibat dalam perjanjian asuransi syariah itu sendiri.
Wakaf yang diberikan oleh peserta, bisa dimanfaatkan oleh masyarakat awam. Bahkan juga bisa menjadi manfaat bagi lingkungan sekitar. Semisal saja, wakaf yang diwujudkan dalam bentuk masjid yang bisa dipergunakan umat sebagai markaz syiar keagamaan dan pendidikan karakter. Wakaf yang berbentuk lahan produktif, yang bukan hanya berbentuk hasil perkebunan, tetapi juga bisa menjadi lahan penghijauan. 
Apabila, wakaf ini benar-benar dimanfaatkan oleh peserta asuransi syariah, maka manfaat tersebut, Insya Allah, akan terus berlanjut walaupun ybs sudah meninggalkan dunia. 
Wallahu’alam bish shawab 

EHN Personal Thought · Indonesia · Insurance · Syariah / sharia · Syiar · Takaful

MENILAI SEBUAH PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH YANG BAIK (#1)

MENILAI SEBUAH PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH YANG BAIK (#1)

 

 

Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Bagaimana sebenarnya menilai sebuah perusahaan asuransi syariah yang baik di industri?” Beliau menambahkan, “Saya awam akan hal ini (mengenai asuransi syariah). Saya cuma tahu kalau di asuransi syariah itu ada dana tabarru dan dana perusahaan.”

 

Begitu lah kira-kira pertanyaan yang dilontarkan kepada saya. Alhamdulillah, kembali saya meyakini tingginya ilmu pengetahuan, semakin kita pelajari akan semakin kita merasa banyak tidak tahunya.

 

Saya pribadi melihat bahwa sebuah perusahaan asuransi syariah (PAS) akan berhasil menjalankan amanatnya yaitu melakukan pengelolaan risiko, apabila pengelolaan risiko tersebut “berhasil”. Pengelolaan risiko di PAS terihat apakah hasil pengelolaannya meghasilkan surplus atau malah defisit.

 

Pengelolaan risiko di PAS, ditunjukkan dalam laporan keuangan, yaitu surplus/deficit underwriting. Surplus underwriting berarti menandakan bahwa penerimaan dana tabarru lebih besar daripada pemberian manfaat/santunan (klaim). Surplus ini mengindikasikan bahwa kontribusi (premi syariah) dan pencadangannya ditetapkan secara adequate (memadai).

 

Sebaliknya, apabila hasilnya deficit, maka dapat diindikasikan bahwa penerapan tarif kontribusi dan cadangan, tidak/kurang memadai untuk menutupi besaran pemberian manfaat/santunan kepada Peserta (pemegang polis).

 

ehn - ilustrasi surplus uw

 

Mengapa saya menganggap hal ini penting?

 

Fungsi dan keberadaan PAS dalam pengelolaan asuransi syariah adalah sebagai wakil dari para Peserta. Seluruh dana yang terkumpul sebenarnya adalah dari dan milik para Peserta secara kolektif. Kembali, PAS hanyalah sebagai pengelola risiko, bukan sebagai pemilik dana.

 

Hal ini berbeda dengan skema yang ada di perusahaan asuransi (konvensional). PAK merupakan pemilik dana yang dikumpulkan dari nasabahnya (Tertanggung). Maka indikator keberhasilan adalah, bagaimana PAK mampu memberikan nilai lebih bagi pemegang sahamnya, dalam bentuk laba perusahaan.

 

Di PAS, kondisi yang sama, yaitu memberikan nilai lebih kepada pemilik sebenarnya, yaitu para Peserta. Untuk itulah, keberhasilan PAS menghasilkan surplus dana tabarru menjadi faktor penilai utama.

 

Sangat ironis, apabila pengelolaan dana tabarru menjadi terbengkalai, sementara PAS memperoleh laba yang sedemikian besarnya. Atau barangkali kata yang tepat adalah dzulm (sesuatu yang tidak pada tempatnya ~ inappropriate). Seidealnya, kedua pihak mendapatkan nilai lebih. Peserta mendapatkan keuntungan dari pengelolaan dana tabarru, PAS juga memperoleh keuntungan dari laba perusahaan. Sehingga tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.

 

Secara pribadi saya menilai bahwa tujuan dari keberadaan PAS, sebagai sebuah lembaga keuangan syariah — yang merupakan representasi dari value keislaman, maka keberadaannya harus memberikan manfaat dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Tujuan dunia dan akhirat harus tertanam dengan baik sejak awal.

 

Lalu, apa kriteria lain untuk menilai sebuah PAS yang baik? To be continued

 

 

– wallahu’alam bish shawab –

 

 

EHN Personal Thought · Insurance · Syariah / sharia · Takaful

LOSS PARTICIPATION in TAKAFUL

# Written in Bahasa Indonesia, English version insha Allah will come soon #
@erwin_noekman

 

Di akad asuransi syariah (takaful) berlaku distribusi hasil underwriting. Manakala dalam pengelolaan dana tabarru’ terdapat kelebihan (surplus). Hal ini diyakini sesuai dengan prinsip syariah, dengan tujuan agar keuntungan yang diperoleh dalam pengelolaan dana bersama tersebut bisa kembali dinikmati bersama oleh para peserta (yang tidak mengajukan klaim).

Untuk menjadi catatan kita bersama, seandainya terjadi defisit dana tabarru’ maka “yang disalahkan” adalah perusahaan asuransi syariah (takaful operator) selaku pengelola dana tabarru’. Sangkaan yang diberikan kepada pihak tersebut bisa dianggap “lalai” dalam melakukan perhitungan aktuaria atau pencadangan yang kurang tepat.

Suka tidak suka, mau tidak mau, perusahaan asuransi syariah akan melakukan pengetatan akseptasi berupa kenaikan tarif dan deductible, yang ujungnya akan membebani seluruh peserta. Bukan hanya kepada peserta yang mengajukan klaim tadi, tetapi juga ke peserta-peserta lain yang belum /tidak pernah mengajukan klaim.

Peserta yang loyal, mungkin hanya bisa bertanya di dalam hati, mengapa tarifnya menjadi naik dibanding periode sebelumnya. Singkatnya, peserta yang loyal dan tidak/belum pernah mengajukan klaim pun akan mendapatkan “penalti” akibat segelintir peserta yang mengakibatkan defisitnya dana tabarru’.

Peserta yang mengajukan klaim (mungkin) akan berpindah ke tempat lain. Sementara di perusahaan asuransi syariah lain yang belum pernah merasakan klaim dari peserta tersebut, mungkin tidak akan membebani peserta ini dengan kenaikan tarif. Tahu malah bukan tidak mungkin, bisa jadi tarifnya malah turun.

Perusahaan asuransi syariah ini (mungkin) baru akan membebani kenaikan nanti apabila peserta menimbulkan defisit di dana tabarru’-nya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Sayangnya, tidak ada kewajiban bagi peserta yang mengajukan klaim untuk tetap memberikan kontribusi di dana tabarru’ tempat ia mengajukan klaim. Kalaupun ia ingin bertahan, bisa jadi perusahaan asuransi syariah pun enggan menerimanya dengan pertimbangan loss ratio yang buruk.

Pada sisi ini, dengan segala kefakiran yang ada, saya melihat adanya ketidak-seimbangan atau bahkan tidak-adilan. Karena “penalti” kepada perusahaan asuransi syariah, justru didistribusikan kembali ke para peserta lain (yang tidak mengalami musibah). Sementara bagi peserta yang mengalami musibah, justru bisa melenggang keluar dari kumpulan dana tabarru’ dan berpindah ke perusahaan lain.

Dengan rasional di atas, saya melihat bahwa penerapan loss participation bagi peserta takaful yang mengalami klaim layak menjadi pertimbangan. Saya bukan ingin menciptakan kondisi “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, atau membebani lebih lanjut peserta yang sedang mengalami musibah. Tetapi lebih untuk memberikan kemaslahatan dan kesehatan finansial bagi dana tabarru’.

Adapun skema yang menjadi “draft” penerapan loss participation adalah sbb:

Apabila loss ratio peserta melebihi 100% dari total kontribusi yang diberikannya, maka untuk setiap klaim akan terbebani loss participation sebesar 10% dari excess of loss ratio.

Catatan: angka 100% dan 10% merupakan contoh yang besarannya bisa diubah sesuai kebutuhan.

Ilustrasinya adalah sebagai berikut:

Fulan memberikan kontribusi sebesar IDR.100.000.000.000 sebagai bagian dari kepesertaannya dalam dana takaful di Asuransi Syariah Perisai. Sesuai kehendak illahi, Fulan mengalami musibah dan menderita kerugian sebesar IDR.150.000.000.000.

# untuk memudahkan contoh, dalam kasus ini tidak diberlakukan deductible polis –

Dalam kondisi normal, sesuai dengan akad yang telah disepakati, Asuransi Syariah Perisai memberikan manfaat sesuai nilai kerugian, yaitu sebesar IDR.150.000.000. Akibat klaim ini, kesehatan keuangan dana tabarru’ Asuransi Syariah Perisai pun menjadi terganggu. Sehingga terjadi defisit dana tabarru’, sebesar IDR.1.000.000.000. Sesuai dengan ketentuan, maka Asuransi Syariah Perisai harus menyediakan qardh untuk menutupi defisit tersebut. Dampak paling jelas adalah Asuransi Syariah Perisai tidak bisa membagikan surplus underwriting, karena hasilnya minus. Berikutnya, Asuransi Syariah Perisai akan menaikkan tarifnya guna menutupi defisit tersebut.

Alternatif yang ingin disampaikan adalah, dengan disepakatinya loss participation, maka kerugian sebesar IDR.150.000.000.000 turut menjadi beban dari peserta yang mengajukan klaim. Dalam hal ini, perhitungannya adalah IDR.50.000.000 x 10% = IDR.5.000.000.000 ditanggung kembali oleh peserta yang mengajukan klaim. Sehingga total manfaat yang diterimanya adalah sebesar IDR.145.000.000.000 (bukan IDR.150.000.000.000). Dengan tambahan loss participation ini, maka dana tabarru’ perusahaan Asuransi Syariah Perisai tidak menjadi defisit. Posisi dana tabarru’ masih positif IDR.4.000.000.000 (dibandingkan minus IDR.1.000.000.000 di atas).

Harap tetap diingat, untuk skenario manapun di atas:-
Walaupun klaim terbayarkan, baik dengan qardh maupun loss participation, tetapi kesehatan keuangan (tingkat solvabilitas) dana tabarru’ bisa jadi tetap tidak tertolong. Dampaknya, perusahaan Asuransi Syariah Perisai mendapatkan “surat cinta” dari regulator, karena RBC-nya di bawah ketentuan. Akibatnya, Asuransi Syariah Perisai, bisa menjalani “masa pemulihan”, atau bahkan bisa mendapatkan sanksi.

Penerapan loss participation ini sebenarnya bisa kita lihat di ART (alternative risk transfer) atau finite (re)insurance. Skema yang mirip dengan loss spreading dengan rentan waktu sekian tahun.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi dasar saya menyampaikan usulan ini. Yang pertama adalah dengan diterapkannya loss participation ini, setidaknya dana tabarru’ mempunyai buffer (excess of loss). Walaupun (mungkin) tidak mampu menolong kesehatan keuangan dana tabarru’ seutuhnya, tetapi tentunya akan bisa memberikan kontribusi sebagai pelampung solvabilitas (catatan bahwa qardh tidak bisa menjadi pelampung RBC).

Pertimbangan kedua adalah, peserta yang mengajukan klaim, justru turut membantu kesehatan dana tabarru’. Walaupun ia mengalami musibah, namun di kesempatan yang sama, ia masih bisa memberikan kontribusi kepada peserta lain, supaya tidak terbebani berupa kenaikan tarif di tahun berikutnya.

Pertimbangan ketiga adalah rasional bahwa apabila ada peserta “baik” yang tidak mengajukan klaim, peserta tersebut bisa mendapatkan surplus underwriting, maka sebaliknya apabila ada peserta “kurang baik” maka peserta tersebut bisa dikenakan loss participation.

Pertimbangan terakhir, walaupun agak extreme, penalti di loss participation ini sebagai “pembelajaran” bagi para peserta untuk turut berusaha menjaga diri dan kepentingannya, dan kalaupun musibah terjadi, akan tetap berusaha meminimalisasi dampaknya.

Sebagai catatan bahwa tidak boleh ada sepeser pun, dana dari loss participation ini dinikmati oleh perusahaan asuransi syariah, seutuhnya harus masuk ke dana tabarru’. Barangkali ini mirip dengan penalti di Kartu Kredit Syariah, bagi nasabah yang terlambat melakukan pembayaran, dikenakan penalti dan dana dari penalti ini tidak boleh menjadi bagian dari keuntungan Bank penerbit Kartu Kredit Syariah, melainkan masuk ke dana kebajikan.

Bisa atau tidaknya diterapkan, mari sama-sama sumbang saran dan pendapat, baik dari sisi regulasi, praktek asuransi dan kaidah syariah. Insya Allah semuanya demi kebaikan dan kesehatan industri asuransi syariah (di manapun).

 

Wallahu’alam bishshawab :-