EHN Personal Thought · Indonesia · Insurance · Syariah / sharia · Syiar · Takaful

Asuransi Syariah sebagai Solusi Kemakmuran Bersama bagi seluruh Anak Bangsa

Asuransi Syariah sebagai Solusi Kemakmuran Bersama bagi seluruh Anak Bangsa

@erwin_noekman

— didistribusikan sebagai Press Release Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia dalam rangka Insurance Day 2015 —

Masa sulit yang sedang dihadapi bangsa Indonesia menyentuh seluruh aspek kehidupan. Sistem ekonomi yang ada saat ini pun sedang mengalami ujian berat. Untuk itu sangat diperlukan sebuah solusi dan penerapan sistem ekonomi yang bukan hanya menyelamatkan bangsa untuk masa kini tetapi juga bisa memberikan jaminan kemakmuran di masa yang akan datang dan mewujudkan visi kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan sejahtera sesuai dengan Pancasila.

Sistem ekonomi yang dimaksud tentunya harus bisa memberikan kenyamanan bagi seluruh bangsa. Sebuah sistem yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Bukan hanya terbatas bagi para pelaku transaksi itu sendiri, melainkan bagi pihak lain yang bahkan mungkin tidak ada kaitannya dengan transaksi itu sendiri. Secara khusus, industri perasuransian sebagai bagian tidak terlepas dari sistem perekonomian Indonesia pun perlu menjadi perhatian kita bersama.

Secara tradisional, sebenarnya bangsa Indonesia sudah mempunyai sebuah sistem perlindungan yang luhur. Bangsa Indonesia dikenal sejak lama sebagai bangsa yang ramah, santun, saling menolong satu-sama-lain (ta’awun) dan saling melindungi (takafuli), manakala ada rekan atau kerabat yang mengalami musibah atau malapetaka. Sistem yang kita kenal sebagai gotong-royong adalah sebuah solusi sistem ekonomi kerakyatan yang nyata. Semua pihak terbukti diuntungkan dalam sistem ini. Hal ini sebenarnya merupakan bagian dari sistem ekonomi syariáh, termasuk asuransi syariah.

Keluhuran nilai bangsa Indonesia yang terkenal dengan sikap gotong-royongnya, merupakan modal kuat dalam pengembangan ekonomi yang berkesinambungan. Ekonomi syariáh terbukti mampu melewati badai krisis di berbagai belahan dunia. Sementara ekonomi yang “kurang beretika” rontok di perjalanannya.

Saat ini asuransi syariah masih mempunyai porsi relatif kecil bila dibandingkan secara total perasuransian nasional. Namun demikian, tingkat pertumbuhan asuransi syariáh relatif lebih baik bila dibandingkan dengan industri sejenis di lahan konvensional.

Asuransi syariah itu sendiri dengan prinsip dan asas saling tolong menolong dan saling melindungi di antara sesama peserta selayaknya diyakini sebagai sebuah sistem ekonomi yang sustainable terhadap perubahan jaman. Hal ini akan menjadi tantangan bagi kita semua untuk terus meyakini dan mengembangkan ekonomi syariah.

Asuransi syariah sebenarnya merupakan sistem ekonomi saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Bagi pelaku asuransi syariáh keuntungan diperoleh dengan memperoleh bagian atas pengelolaan bisnisnya (ujrah pengelola). Pihak perantara yang terlibat dalam proses transaksi syariáh berhak atas ujrah (fee, brokege, commission) dari jerih payahnya. Selain mendapatkan perlindungan, para Peserta pun turut memperoleh bagian atas keuntungan apabila transaksi tersebut memberikan nilai lebih (surplus underwriting). Bahkan, lebih jauh lagi, pihak-pihak yang tidak terlibat (misalnya masyarakat faqir, miskin, dhuafa) dalam transaksi bisnis syariah pun bisa merasakan manfaat dari transaksi non-ribawi ini semisal dalam bentuk zakat, infak, shaqadah atau jariyah.

Sistem “ekonomi kerakyatan” inilah merupakan esensi dari keluhuran nilai masyarakat Indonesia yang diusung sejak lama, yaitu prinsip gotong-royong.

Asuransi syariah sendiri sesuai dengan prinsip yang dianutnya, akan terus menjalankan operasional dengan penuh kepatuhan terhadap nilai-nilai good corporate governance, dan menjalan bisnis dengan penuh etika dan moral yang tinggi. Transparansi akan menjadi kata kunci, karena perusahaan berbasis syariah merupakan pihak yang mendapat amanah dari nasabah dalam pengelokaan dana atau assetnya.

Sesuai momentumnya, adalah kesempatan bagi kita untuk lebih mencermati secara cerdas sistem ekonomi yang digunakan dalam asuransi syariah. Secara financial, asuransi syariah memberikan keuntungan lebih seperti digambarkan di atas. Secara sosial, asuransi syariah turut membantu sesama, baik yang terlibat dalam transaksi maupun yang tidak. Secara religi, asuransi syariah dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariah, memberikan ketentraman bagi pesertamya dari sisi ibadah duniawi dan akhirat. Secara governance, asuransi syariah dimotori oleh organisasi yang menjalankan roda usahanya dengan norma-norma kesantunan, etika, empati, simpati dan transparansi.

Industri asuransi sendiri, baik konvensional maupun syariah, menghadapi tantangan dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Rendahnya literasi perasuransian membuat masyarakat meposisikan asuransi berada di nomor sekian dari prioritas mereka. Sebagian besar masih merasa bahwa hidup hari ini jauh lebih penting daripada jaminan di masa yang akan datang.

Para pelaku asuransi syariah di Indonesia sendiri berupaya memberikan solusi yang menyeluruh bagi masyarakat Indonesia dengan membangun kapasitas bersama dalam bentuk Konsorsium Asuransi Mikro Syariah si Bijak. Si Bijak merupakan produk generik asuransi syariah yang memberikan jaminan dari sisi risiko asuransi umum (harta benda) dan asuransi jiwa (meninggal dunia).

Selain itu, guna memberikan jaminan bagi masyarakat dan pelaku usaha kecil, pelaku asuransi syariah melalui Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia pun turut dalam pengembangan asuransi mikro syariah yang bekerja sama dengan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah guna memberikan perlindungan atas tempat usaha dan modal usaha dari berbagai risiko seperti kebakaran, letusan gunung berapi, dsj.

Asuransi syariáh dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariáh menjadi sistem ekonomi non-ribawi, yang akan mengantar masyarakat menjadi jauh lebih bermartabat, lebih bersyukur dan menjadi lebih berkah.

Sebagai pelengkap dari kekuatan ekonomi kerakyatan adalah kebijakan pemerintah yang pro terhadap ekonomi kerakyatan itu sendiri. Sejauh ini belum ada lembaga keuangan syariáh yang dimiliki oleh pemerintah. Kalaupun ada, unit syariáh atau lembaga keuangan syariáh merupakan anak perusahaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sekiranya saja, pemerintah dengan political will yang dimilikinya, sedikit mengarahkan ke arah ini, tentunya akan semakin marak ekonomi syariáh di negeri ini. Kembali diingat, BUMN selain berperan sebagai penghasil dividen bagi negara juga (bisa) mempunyai misi kemanusiaan. Sangat tepat bila ekonomi kerakyatan ini didukung oleh BUMN yang tangguh.

Bentuk lain political will yang bisa digerakkan oleh pemerintah adalah social responsible investment (SRI) untuk diterapkan kepada seluruh pelaku perasuransian syariah. Selain corporate social responcibility (CSR), SRI akan sangat membantu para pelaku usaha kecil, menengah dan mikro (UMKM). Tanpa harus terbebani dengan jeratan riba yang bukan hanya menyulitkan secara duniawi tetapi juga menjerat pelakunya dalam hukum akhirat.

Ujungnya adalah tujuan pembangunan yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kekayaan akan diperoleh dari sikap bersyukur dan saling membantu. Dengan keyakinan tinggi, kita semua bisa meyakini bahwa ekonomi syariah akan semakin maju dan berkembang dan membawa keberkahan bagi semua pihak dan demi Indonesia yang jauh lebih baik lagi.

Di penghujungnya adalah asuransi syariah yang bisa memberikan kemakmuran dan berkah bagi seluruh bangsa Indonesia. Aamiin.

.

EHN Personal Thought · Family

Ayah Kami – Bagian 5

Kisah seorang Ayah yang menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya

– Bagian 5 –

Satu yang selalu saya ingat, dan memang terpampang di foto-foto keluarga kami, setiap akhir pekan ayah kami selalu berusaha mengajak kami ke suatu tempat. Ancol dan Taman Mini merupakan tujuan akhir pekan kami. Waktu itu, hari libur hanya ada di hari Minggu, sebelum pemerintah menetapkan Sabtu juga sebagai hari libur formal bagi perusahaan-perusahaan.

Di Ancol, kami biasa menikmati pantai (yang kala itu masih lebih bersih dibanding sekarang). Biasanya diakhiri dengan menyantap atau membungkus kerang hijau (kala itu masih jarang yang menjual).

Di Taman Mini, kami biasa menyewa sepeda, bermain, berkeliling mengayuh sepeda tandem. Dulu, saya pernah tidak mau pulang dari anjungan rumah Kalimantan (saya lupa dari Kalimantan bagian mana). Saya menganggap itulah rumah saya 😛

Kebiasaan berakhir pekan ini, terus berlanjut sampai ayah kami mempunyai cucu-cucu. Setiap akhir pekan, biasanya ayah kami sudah siap sejak pagi dan menantikan kehadiran cucu-cucunya di rumah…. Barangkali bukan anak-anaknya yang dinantikan, tapi cucu-cucunya saja 😀

Walaupun ayah kami orang yang tegas dan bisa sangat marah bila ada kesalahan di hadapannya, tetapi sisi yang satu ini membuat kami tidak bisa menghindari kekaguman kami akan sosok sang ayah. Walaupun terkesan ada “jarak” tetapi bila melihat lebih dalam lagi, kami pun menyadari bahwa ayah kami selalu melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Alhamdulillah, tidak ada goncangan berarti di keluarga kami. Alhamdulillah, tidak ada anak-anaknya yang terjerumus narkoba. Bahkan hanya satu di antara anak-anaknya yang merokok, itu pun dengan alasan karena sebagai seorang arsitek, sering bergadang dan butuh refreshing dengan merokok. Selebihnya tidak ada yang melakukannya.

Ayah kami mungkin bukan tipikal orang modern. Sebagai old cracker, beliau tidak sungkan meminta bantuan orang yang lebih junior darinya untuk membantunya, termasuk saya.

Saya sejak SMP sudah menjadi “asisten” ayah kami. Seringkali, apabila ayah kami hendak melakukan presentasi di kantor, dengan keterbatasan beliau menggunakan komputer, beliau meminta saya yang membuatkan power point.

Jadi sebenarnya sejak SMP saya sudah ter-exposed dengan jargon-jargon asuransi, seperti premi, klaim, PML, EML, MPL, treaty, excess of loss, bordereaux, dll. Ternyata di alam bawah sadar saya inilah yang membentuk karakter dan passion saya di industri asuransi.

End of part 5 :
To be continued ~

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~

EHN Personal Thought · Family

Ayah Kami – Bagian 3

Kisah seorang Ayah yang menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya

– Bagian 3 –

Ayah saya, sejak usia belasan tahun sudah merantau seorang diri dari Kampung di tengah hutan, menuju Ibukota yang keras. Sejak SMP beliau sudah hidup sendiri di tanah rantau dan bekerja agar bisa sekolah juga menghidupi dirinya, bertahan di Jakarta.

He started from the scratch. From zero to hero.

Beiau mengawali “karir” sebagai kuli. Iya, kuli. K-U-L-I. Beliau bekerja sebagai kuli panggul di pelabuhan dan menjadi buruh kasar yang membantu pembangunan jalan menuju Tanjung Priok. Struggling time.

Saya pernah mendengar kisah dari Ibu saya. Ayah kami, ketika itu mempunyai 3 anak, alm Kakak tertua saya perempuan dan 2 Abang laki-laki. Saya sendiri anak kelima. Ayah saya kalau kembali ke rumah, berupaya memberikan oleh-oleh, apapun bentuknya. Hingga dikisahkan Ibu kami, ayah kami hanya mampu membeli sebuah permen, untuk dibagi bersama. Saya sendiri belum lahir kala itu. Tetapi kehidupan dan masa kecil saya pun saya lalui dengan perjuangan. Mungkin ini juga yang “memaksa” kami selalu berjuang di setiap kesempatan.

Sedikit demi sedikit, beliau hijrah dari satu tempat kerja ke tempat lain. Beliau juga sempat bantu-bantu di sebuah EMKL. Dugaan saya, di sinilah beliau mulai ter-expose mengenai asuransi (marine cargo).

Selanjutnya,beliau baru mulai “bekerja” di sebuah kantor. Beliau bekerja di sebuah perusahaan asuransi milik Belanda ketika itu.

Satu kisah yang masih saya ingat hingga sekarang adalah “kecerdasan” beliau ketika bekerja. Kala itu, pekerja masih menggunakan mesin tik (manual) bukan seperti sekarang yang sudah menggunakan media canggih seperti komputer atau laptop. Beliau “belajar” dari “kesalahan” rekan kerjanya.

Ayah kami ketika mengetik polis, beliau memilih menggunakan mesin tik besar (bantalan lebih besar dari mesin tik standar). Kalau rekan-rekan kerja lainnya mengetik menggunakan mesin tik berukuran kecil, hasilnya hanya bisa mengerjakan satu-per-satu polis. Sementara ayah kami, dengan menggunakan mesin tik besarnya, bisa memasukkan dua blanko sekaligus ke mesin tik, dan diketik bersamaan, sehingga jelas menghemat waktu.

Tak dinyana, “hal kecil” ini dilihat oleh boss bule-nya. Kalau tidak salah namanya Mr Khierkoff. Orang asli Belanda, yang di rumahnya di Belanda tersimpan Becak yang dikirim dari Jakarta. Dari hal kecil itu, sang Bule yang lebih fair menilai kinerja seseorang pun mengangkat ayah kami menjadi officer.

Satu demi satu tugas dan pekerjaan dituntaskan ayah kami dengan baik dan penuh semangat (passion). Sehingga beberapa kali ayah kami mendapatkan kepercayaan dari perusahaan untuk mengembangkan diri menghadiri seminar dan pendidikan di Zürich, Munich dan London, kota-kota pusat (re)asuransi dunia.

Seperti layaknya orang Sumatera pada umumnya, banyak tersimpan foto-foto kenangan. Bahkan di masa hidupnya, foto-foto itu terpampang memenuhi semua sisi dinding rumah kami di kawasan Jakarta Barat. Di salah satu foto kenangan yang masih kami simpan, terlihat foto ayah kami dengan latar belakang kota Munich bertajuk tahun 1974. Tahun kelahiran @erwin_noekman. Ketika itu ayah kami sudah mengikuti pendidikan di perusahaan reasuransi terbesar di dunia, Munich Re.

Wah, ternyata, bisa jadi nama depan saya yang berbau Jerman karena ayah kami baru kembali dari negara tersebut.

Walaupun sudah mempunyai exposure ke luar negeri, bukan berarti kehidupan kami sudah makmur. Kami masih menumpang rumah dan berpindah-pindah di kawasan Jelambar dan Tanah Abang.

End of part 3 :
To be continued ~

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~

EHN Personal Thought · Family

Ayah Kami – Bagian 2

Kisah seorang Ayah yang menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya

– Bagian 2 –

Ayah kami lahir di tengah hutan Sumatera Utara. Di aliran sungai Asahan.

Ato’ (kakek) kami adalah seorang mualaf. Beliau adalah asli Batak. Kalau tidak salah, kisahnya Ato’ kami turun gunung dan berbaur dengan masyarakat Melayu hingga akhirnya menjadi Muslim.

Sebenarnya di darah saya dan anak-anak saya pun mengalir darah Batak. Bahkan semestinya ayah kami pun turut menurunkan marga di nama belakang saya. Tetapi entah mengapa, semenjak beliau mendarat di Jakarta, marga beliau disimpan dan tidak pernah disebutkan. Bahkan tidak semua orang tahu bahwa sesungguhnya ayah kami (dan kami) adalah orang Batak asli.

Kampung kami bernama Ujung Batu, di tengah kawasan Perkebunan Karet. Jaraknya dari kota Medan sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 100KM, tetapi butuh waktu sekitar 8 jam, untuk tiba di sana, karena harus menembus belantara hutan dan pastinya harus menggunakan kendaraan tinggi. Bahkan pernah kami masuk ke sana menggunakan truk 😀

Sewaktu masa kecil hingga remaja, beberapa kami pulang kampung ke sana. Sampai terakhir saya ke sana di tahun 2000, belum ada listrik yang mengalir. Untuk mandi pun, masih menggunakan anak sungai Asahan. Jadi, bila kita mandi di satu sisi, di seberangnya masih banyak monyet di sisi sungai. Bahkan auman Harimau Sumatera-pun kerap terdengar.

Seperti tipikal rumah di hutan, rumah Ato’ kami pun berupa rumah panggung. Hal ini untuk mengurangi risiko serangan binatang buas dari hutan. Ketika bangun pagi pun, akan tercium bau khas karet di sekeliling rumah.

Sebelum sungai Asahan tercemar oleh industri kertas, masih banyak udang di sungai ini. Saya masih ingat, kala masih kecil, sering kami hanya cukup memasang jaring (serokan) ikan untuk menangkap udang hidup. Langsung kami bakar di sisi sungai dan dengan lahap kami menikmatinya.

End of part 2 :
To be continued ~

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~

EHN Personal Thought · Family

Ayah Kami – Bagian 1

Kisah seorang Ayah yang menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya

– Bagian 1 –

Pada kesempatan ini saya ingin berbagi kisah tentang sosok ayah kami. Ayah kami sebenarnya adalah sosok orang biasa tetapi merupakan pahlawan bagi kami, ke-enam anak dan satu orang istrinya.

Beliau adalah tipikal pekerja yang mengabdi bagi perusahaan tempatnya bekerja. Beliau bukanlah tipikal kutu loncat. Tidak pula “berpolitik”. Pastinya bukan (maaf) butt kisser.

Puluhan tahun beliau mengabdi di industri asuransi nasional. Sempat pula menduduki jabatan di Dewan Asuransi Indonesia di era 80an.

Pertemanan dan bersosialisasi dengan pihak (re)asuransi asing, sepertinya membuka mata dan wawasannya bahwa masih ada “sisi baik” orang dan negara asing.

Sepertinya, itulah yang menjadi fundamental “investasi” ayah kami kepada anak-anaknya. Alhamdulillaah, semua putera-nya mengenyam pendidikan dan pernah tinggal di negeri-negeri dan benua-benua yang tersebar. Mungkin, jikalau mungkin, Kakak tertua kami masih hidup, bisa jadi beliau juga berkesempatan melanjutkan studi di luar negeri. Wallahu’alam bish shawab.

Ayah kami berinvestasi pendidikan bagi putera-puetranya. Saya sendiri kelak baru menyadari, bahwa “investasi” ayah kami pun ter-diversifikasi dan tersebar di seluruh belakan dunia. Ada yang mengenyam pendidikan di Amerika, Inggris, Hong Kong, Singapore dan Australia. Jadi hampir di seluruh benua ada jejak investasi beliau.

Kami sendiri bukan keluarga yang hidup bermewah-mewah. Bahkan boleh dibilang, keluarga biasa, yang terkadang ayah kami pun masih merasakan kesulitan likuiditas di penghujung bulan. Tetapi untuk satu hal, pendidikan, ayah kami akan melakukan yang terbaik bagi putera-puteranya.

Ayah kami juga bukanlah tipikal yang memanjakan anak-anaknya dengan kemewahan. Mungkin itu juga yang mendidik kami menjadi survivor dan fighter.

Saya sendiri masih ingat, setelah lulus kuliah dan sebelum kerusuhan melanda Indonesia, saya sempat “nge-tes” ayah kami dengan meminta mobil. Tetapi ayah kami, tidak bergeming. Malah ketika saya berhasil mendapatkan bea siswa (partial) British Council Jakarta, beliau mendorong keinginan saya untuk melanjutkan kuliah di Inggris. Padahal beberapa tahun sebelumnya, Abang di atas saya, sudah tinggal di negeri Paman Sam selepas SMA.

Di akhir hayatnya, beliau pun masih memikirkan nasib perusahaan yang dipimpinnya. Saya ulangi, ayah kami adalah tipikal pekerja dan pengabdi. Beliau bukan pemegang saham dan tidak punya kepentingan akan perusahaan, kecuali menjalankan dengan sebaik-baiknya.

Dalam usia senja dan keadaan dimana seluruh anak-anaknya (boleh dikatakan) sudah mandiri, beliau masih ingin terus bekerja. Di usia 70an pun beliau masih menyetir sendiri mobilnya ke kantor.

Kami semua puteranya sudah memberikan saran, sudah waktunya beliau beristirahat. Beliau sudah waktunya menikmati waktu lebih banyak di rumah.

Tetapi tidak bagi beliau. Ketika aturan regulasi “memaksa” perusahaan asuransi kecil memenuhi modal minimum, beliau termasuk yang paling keras berupaya mencari solusi bagi perusahaannya. Kami sangat yakin, upaya tersebut dilakukan beliau semata karena memikirkan nasib karyawan. Semisal, perusahaan gagal memenuhi aturan minimum modal, tentunya perusahaan akan tutup.

Kami semua dengan “ego” kami sempat berucap, “Sudahlah yah, biarin aja, ayah pun ga’ dapet apa-apa dari situ.” Pernyataan sikap kami, semata karena kami “kasihan” bahwa ayah kami berjuang mati-matian membela nasib karyawannya. Sementara kami merasa, bahwa karyawannya pun sebenarnya “cuek” saja, atau mungkin pasrah pada keadaan.

Namun bukan ayah kami, bila ia menyerah setengah jalan. Alhasil beliau berhasil, memasukkan investor baru. Ujungnya malah didepak oleh pemilik baru (* tepok jidat).

Tapi itulah kehidupan, ayah kami tidak hitung-hitungan soal itu. Yang penting adalah beliau berupaya semaksimal yang bisa dilakukannya.

End of Part 1 :
To be continued ~

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~