EHN Personal Thought · Family

Ayah Kami – Bagian 3

Kisah seorang Ayah yang menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya

– Bagian 3 –

Ayah saya, sejak usia belasan tahun sudah merantau seorang diri dari Kampung di tengah hutan, menuju Ibukota yang keras. Sejak SMP beliau sudah hidup sendiri di tanah rantau dan bekerja agar bisa sekolah juga menghidupi dirinya, bertahan di Jakarta.

He started from the scratch. From zero to hero.

Beiau mengawali “karir” sebagai kuli. Iya, kuli. K-U-L-I. Beliau bekerja sebagai kuli panggul di pelabuhan dan menjadi buruh kasar yang membantu pembangunan jalan menuju Tanjung Priok. Struggling time.

Saya pernah mendengar kisah dari Ibu saya. Ayah kami, ketika itu mempunyai 3 anak, alm Kakak tertua saya perempuan dan 2 Abang laki-laki. Saya sendiri anak kelima. Ayah saya kalau kembali ke rumah, berupaya memberikan oleh-oleh, apapun bentuknya. Hingga dikisahkan Ibu kami, ayah kami hanya mampu membeli sebuah permen, untuk dibagi bersama. Saya sendiri belum lahir kala itu. Tetapi kehidupan dan masa kecil saya pun saya lalui dengan perjuangan. Mungkin ini juga yang “memaksa” kami selalu berjuang di setiap kesempatan.

Sedikit demi sedikit, beliau hijrah dari satu tempat kerja ke tempat lain. Beliau juga sempat bantu-bantu di sebuah EMKL. Dugaan saya, di sinilah beliau mulai ter-expose mengenai asuransi (marine cargo).

Selanjutnya,beliau baru mulai “bekerja” di sebuah kantor. Beliau bekerja di sebuah perusahaan asuransi milik Belanda ketika itu.

Satu kisah yang masih saya ingat hingga sekarang adalah “kecerdasan” beliau ketika bekerja. Kala itu, pekerja masih menggunakan mesin tik (manual) bukan seperti sekarang yang sudah menggunakan media canggih seperti komputer atau laptop. Beliau “belajar” dari “kesalahan” rekan kerjanya.

Ayah kami ketika mengetik polis, beliau memilih menggunakan mesin tik besar (bantalan lebih besar dari mesin tik standar). Kalau rekan-rekan kerja lainnya mengetik menggunakan mesin tik berukuran kecil, hasilnya hanya bisa mengerjakan satu-per-satu polis. Sementara ayah kami, dengan menggunakan mesin tik besarnya, bisa memasukkan dua blanko sekaligus ke mesin tik, dan diketik bersamaan, sehingga jelas menghemat waktu.

Tak dinyana, “hal kecil” ini dilihat oleh boss bule-nya. Kalau tidak salah namanya Mr Khierkoff. Orang asli Belanda, yang di rumahnya di Belanda tersimpan Becak yang dikirim dari Jakarta. Dari hal kecil itu, sang Bule yang lebih fair menilai kinerja seseorang pun mengangkat ayah kami menjadi officer.

Satu demi satu tugas dan pekerjaan dituntaskan ayah kami dengan baik dan penuh semangat (passion). Sehingga beberapa kali ayah kami mendapatkan kepercayaan dari perusahaan untuk mengembangkan diri menghadiri seminar dan pendidikan di Zürich, Munich dan London, kota-kota pusat (re)asuransi dunia.

Seperti layaknya orang Sumatera pada umumnya, banyak tersimpan foto-foto kenangan. Bahkan di masa hidupnya, foto-foto itu terpampang memenuhi semua sisi dinding rumah kami di kawasan Jakarta Barat. Di salah satu foto kenangan yang masih kami simpan, terlihat foto ayah kami dengan latar belakang kota Munich bertajuk tahun 1974. Tahun kelahiran @erwin_noekman. Ketika itu ayah kami sudah mengikuti pendidikan di perusahaan reasuransi terbesar di dunia, Munich Re.

Wah, ternyata, bisa jadi nama depan saya yang berbau Jerman karena ayah kami baru kembali dari negara tersebut.

Walaupun sudah mempunyai exposure ke luar negeri, bukan berarti kehidupan kami sudah makmur. Kami masih menumpang rumah dan berpindah-pindah di kawasan Jelambar dan Tanah Abang.

End of part 3 :
To be continued ~

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s