EHN Personal Thought · Syariah / sharia · Syiar

Ekonomi Kerakyatan ala Indonesia

Ekonomi Kerakyatan ala Indonesia
————————————————
Erwin Noekman
@erwin_noekman
Praktisi Asuransi Syariah

Umat Muslim di Indonesia baru saja melalui dua “event” besar. Pemilihan umum sudah berlalu. Ramadhan karim pun sudah meninggalkan kita. Kedua momentum tersebut sebenarnya bisa kita kaitkan satu sama lain. Penulis tidak ingin membahas lebih dalam mengenai politik praktis, tetapi lebih ingin mendalami esensi dan pelajaran yang bisa kita petik bersama dari Ramadhan dan kaitannya dengan masyarakat  Indonesia ke depannya.

Selama masa kampanye, kedua calon presiden menjual ide mengenai “ekonomi kerakyatan”. Isi dan penjelasan dari ekonomi kerakyatan yang diusung oleh masing-masing kubu itu sendiri memang belum pernah dijabarkan secara khusus. Sehingga tidak salah apabila para pengidam ekonomi kerakyatan itu sendiri menjadi penasaran dan berharap banyak dari pemerintahan yang akan datang.

Secara mendasar sebenarnya prinsip, pengertian ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memberikan menguntungkan bagi seluruh lapisan masyakarat.

Sebagai bagian dari masyarakat umum, penulis memberikan masukan kepada pemerintahan yang akan datang, ekonomi kerakyatan yang sangat layak dijual bagi masyakat Indonesia adalah “recycle” dari sistem ekonomi yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia, gotong royong. Bangsa Indonesia dikenal sejak lama sebagai bangsa yang ramah, santun, saling menolong satu-sama-lain (taawun) dan saling melindungi (takafuli).

Hal-hal ini sebenarnya merupakan penjelasan dari sistem ekonomi syariáh.

Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Dengan mengambil pareto 85% penduduk Indonesia adalah muslim, secara matematis, sudah akan menyokong sistem tersebut.

Apabila memang benar pemerintah akan mendorong ekonomi kerakyatan, hal ini tentunya akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Sistem ini bisa menjadi “alternatif” di antara sistem-sistem ekonomi yang sudah ada dan terhantam badai krisis di berbagai belahan dunia.

Keluhuran nilai bangsa Indonesia yang terkenal dengan sikap gotong-royongnya, merupakan modal kuat dalam pengembangan ekonomi yang berkesinambungan.

Ekonomi syariáh terbukti mampu melewati badai krisis di berbagai belahan dunia. Sementara ekonomi yang “kurang beretika” rontok di perjalanannya.

Saat ini ekonomi syariah baru mempunyai porsi relatif kecil bila dibandingkan dengan total perekonomian nasional. Namun demikian, tingkat pertumbuhan industri syariáh relatif lebih baik bila dibandingkan dengan industri sejenis di lahan konvensional.

Ekonomi syariah itu sendiri dengan prinsip dan asas saling tolong menolong dan saling melindungi di antara sesama peserta selayaknya diyakini sebagai sebuah sistem ekonomi yang sustainable terhadap perubahan jaman. Hal ini akan menjadi tantangan bagi kita semua untuk terus meyakini dan mengembangkan ekonomi syariah.

Ekonomi syariah sebenarnya merupakan sistem ekonomi saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Bagi pelaku industri syariáh keuntungan diperoleh dengan memperoleh bagian atas pengelolaan bisnisnya. Pihak perantara yang terlibat dalam proses transaksi syariáh berhak atas ujrah (fee) dari jerih payahnya. Para nasabah pun turut memperoleh bagian atas keuntungan apabila transaksi tersebut memberikan nilai lebih (surplus). Bahkan, lebih jauh lagi, pihak-pihak yang tidak terlibat (misalnya masyarakat faqir, miskin, dhuafa) dalam transaksi bisnis syariah pun bisa merasakan manfaat dari transaksi non-ribawi ini semisal dalam bentuk zakat, infak, shaqadah atau jariyah. Sistem “ekonomi kerakyatan” inilah merupakan esensi dari keluhuran nilai masyarakat Indonesia yang diusung sejak lama, yaitu prinsip gotong-royong.

Ekonomi syariah sendiri sesuai dengan prinsip yang dianutnya, akan terus menjalankan operasional dengan penuh kepatuhan terhadap nilai-nilai good corporate governance, dan menjalan bisnis dengan penuh etika dan moral yang tinggi. Transparansi akan menjadi kata kunci, karena perusahaan berbasis syariah merupakan pihak yang mendapat amanah dari nasabah dalam pengelokaan dana atau assetnya.

Sesuai momentumnya, adalah kesempatan bagi kita untuk lebih mencermati secara cerdas sistem ekonomi yang digunakan dalam ekonomi syariah. Secara financial, ekonomi syariah memberikan keuntungan lebih seperti digambarkan di atas. Secara sosial, ekonomi syariah turut membantu sesama, baik yang terlibat dalam transaksi maupun yang tidak. Secara religi, ekonomi syariah dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariah, memberikan ketentraman bagi nasabahnya dari sisi ibadah duniawi dan akhirat. Secara governance, ekonomi syariah dimotori oleh organisasi yang menjalankan roda usahanya dengan norma-norma kesantunan, etika, empati, simpati dan transparansi.

Kembali menghayati esensi dan semangat dan Ramadhan semestinya tetap terjaga hingga sebelas bulan ke depan. Salah satunya adalah sikap wara (hati-hati). Sepanjang Ramadhan, kita sudah teruji untuk bersikap hati-hati dan menuruti perintah Allah. Jangan yang haram, sepanjang shaum Ramadhan, yang halal pun kita jauhi karena iman kita.

Semestinya, sikap hati-hati ini pun tetap terjaga. Kaitannya dengan muamalah, seyogyanya umat muslim meningkatkan kehati-hatiannya. Kalau sebelumnya kita terbiasa memakan riba, setelah Ramadhan ini mari kita jauhi. Ekonomi syariáh dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariáh menjadi sistem ekonomi non-ribawi, yang akan mengantar masyarakat menjadi jauh lebih bermartabat, lebih bersyukur dan menjadi lebih berkah.

Sebagai pelengkap dari kekuatan ekonomi kerakyatan adalah kebijakan pemerintah yang pro terhadap ekonomi kerakyatan itu sendiri. Sejauh ini belum ada lembaga keuangan syariáh yang dimiliki oleh pemerintah. Kalaupun ada, unit syariáh atau lembaga keuangan syariáh merupakan anak perusahaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sekiranya saja, pemerintah dengan political will yang dimilikinya, sedikit mengarahkan ke arah ini, tentunya akan semakin marak ekonomi syariáh di negeri ini. Kembali diingat, BUMN selain berperan sebagai penghasil dividen bagi negara juga (bisa) mempunyai misi kemanusiaan. Sangat tepat bila ekonomi kerakyatan ini didukung oleh BUMN yang tangguh.

Bentuk lain political will yang bisa digerakkan oleh pemerintah adalah social responsible investment (SRI). Selain corporate social responcibility (CSR), SRI akan sangat membantu para pelaku usaha kecil, menengah dan mikro (UMKM). Tanpa harus terbebani dengan jeratan riba yang bukan hanya menyulitkan secara duniawi tetapi juga menjerat pelakunya dalam hukum akhirat.

Ujungnya adalah tujuan pembangunan yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kekayaan akan diperoleh dari sikap bersyukur dan saling membantu.

Dengan keyakinan tinggi, setelah tempaan selama Ramadhan dan harapan berjumpa kembali ke Ramadhan yang akan datang, kita semua bisa meyakini bahwa ekonomi syariah akan semakin maju dan berkembang dan membawa keberkahan bagi semua pihak dan demi Indonesia yang jauh lebih baik lagi.

– personal thought with disclaimer on for a much better Indonesia, my home, my country –

EHN Personal Thought

Marketing ala Pengemudi Bajaj Biru

Sore itu berkesempatan menaiki kendaraan umum bajaj berwarna biru dari dekat rumah menuju rumah sakit.

Sepanjang jalan sempat berdialog dengan bapak pengemudi bajaj.

Saya baru tahu kalau ternyata harga sebuah bajaj (biru) mencapai ratusan juta rupiah, bahkan disebutkan oleh sang bapak, harganya Rp. 130.000.000,- per unit. Waah, lumayan juga ya harganya. Melebihi harga sebuah mobil.

Sang bapak juga mengatakan, beberapa pengemudi yang mempunyai cukup uang, memiliki sendiri bajaj-nya. Sedangkan bagi yang menyewa, setiap hari dikejar setoran sebesar Rp. 120.000 / hari.

Hitung punya hitung, sang pemilik bajaj akan balik modal dalam kurun waktu 3 tahun.

Kalau pengemudi bajaj mengambil pembiayaan, dengan setoran kurang dari Rp. 120.000 / hari sebenarnya dia sudah bisa memiliki bajaj-nya sendiri dalam kurun 5 tahun.

Sang Bapak tadi sempat promosi bahwa bajaj biru lebih hebat dari bajaj merah. Sentakan (pergantian) antar gigi pun muluus.

Sambil tersenyum saya pun terkagum-kagum bahwa si Bapak ini bisa menjadi marketer yang luarrrr biasa. Salut bapake! Barakallah!

IMG_2872.JPG

Indonesia

Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia

Hari ini 69 tahun yang lalu dua putra terbaik Indonesia, Soekarno dan M. Hatta, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah lebih 3½ abad di bawah penjajahan kolonial Belanda.

Kini, 69 tahun kemudian, secara politik kita sudah menjadi bangsa yang merdeka.

Namun, sayangnya namun, masih banyak kemerdekaan hakiki yang belum kita miliki sebagai bangsa Indonesia. Masih banyak kekuatan di luar Indonesia yang mengatur dan mendominasi kehidupan kita bermasyarakat.

Masih banyak pikiran dan pandangan kita yang terbelenggu dalam “perbudakan” dan “penjajahan”.

Mari kita terus perjuangkan kemerdekaan hakiki bagi dan buat kita semua.

Demi Indonesia yang jauh lebih baik lagi!

IMG_2796.JPG

EHN Personal Thought · Family

Ayah Kami – Bagian 2

Kisah seorang Ayah yang menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya

– Bagian 2 –

Ayah kami lahir di tengah hutan Sumatera Utara. Di aliran sungai Asahan.

Ato’ (kakek) kami adalah seorang mualaf. Beliau adalah asli Batak. Kalau tidak salah, kisahnya Ato’ kami turun gunung dan berbaur dengan masyarakat Melayu hingga akhirnya menjadi Muslim.

Sebenarnya di darah saya dan anak-anak saya pun mengalir darah Batak. Bahkan semestinya ayah kami pun turut menurunkan marga di nama belakang saya. Tetapi entah mengapa, semenjak beliau mendarat di Jakarta, marga beliau disimpan dan tidak pernah disebutkan. Bahkan tidak semua orang tahu bahwa sesungguhnya ayah kami (dan kami) adalah orang Batak asli.

Kampung kami bernama Ujung Batu, di tengah kawasan Perkebunan Karet. Jaraknya dari kota Medan sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 100KM, tetapi butuh waktu sekitar 8 jam, untuk tiba di sana, karena harus menembus belantara hutan dan pastinya harus menggunakan kendaraan tinggi. Bahkan pernah kami masuk ke sana menggunakan truk 😀

Sewaktu masa kecil hingga remaja, beberapa kami pulang kampung ke sana. Sampai terakhir saya ke sana di tahun 2000, belum ada listrik yang mengalir. Untuk mandi pun, masih menggunakan anak sungai Asahan. Jadi, bila kita mandi di satu sisi, di seberangnya masih banyak monyet di sisi sungai. Bahkan auman Harimau Sumatera-pun kerap terdengar.

Seperti tipikal rumah di hutan, rumah Ato’ kami pun berupa rumah panggung. Hal ini untuk mengurangi risiko serangan binatang buas dari hutan. Ketika bangun pagi pun, akan tercium bau khas karet di sekeliling rumah.

Sebelum sungai Asahan tercemar oleh industri kertas, masih banyak udang di sungai ini. Saya masih ingat, kala masih kecil, sering kami hanya cukup memasang jaring (serokan) ikan untuk menangkap udang hidup. Langsung kami bakar di sisi sungai dan dengan lahap kami menikmatinya.

End of part 2 :
To be continued ~

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~

EHN Personal Thought · Syiar

Manusia Diciptakan Bersifat Keluh Kesah

Membaca sebuah artikel (terjemahan dari edisi asli dalam Bahasa Inggris) membuka pikiran saya sendiri. Begitu sering kita tiap pagi, ketika akan bersiap menuju tempat kerja, awal hari kita sudah dipenuhi dengan keluhan. Bangun tidur, kepala dan badan terasa berat. Kelopak mata seakan dibebani ribuan ton barbel yang membuatnya sulit terbuka.

Ketika di jalan, keluhan semakin terasa. Jalanan yang padat dan semrawut semakin menaikkan tensi darah. Bagi yang naik kendaraan umum, berdesakan dan kejar-kejaran serta rebut-rebutan pun menjadi bagian rutin di pagi hari. Bagi yang membawa kendaraan pribadi, pun tak lepas dari keluhan, apalagi kalau bukan macet dan stress tingkat tinggi akibat rendahnya disiplin di jalan.

Keluhan-keluhan ini bisa jadi terbawa hingga kantor. Semestinya kita tiba dalam keadaan fresh sehingga bisa melahirkan ide dan gagasan yang strategis, bisa jadi malah yang terjadi adalah kebalikannya.

Kondisi psikis yang “sudah terganggu” membuat kita lebih “fokus” pada mengeluh.

“Eh jeung, tau ga? Tadi tuch ya jalanan macet bingit….”, “Eh gile bener yak, tadi jembatan XXXX macet abiss”, “Hadeuh, mau naik XXXXXX antriannya bejibun”, begitu kira-kira pernyataan (baca: keluhan) pertama ketika ketemu kolega di kantor.

Atau sepanjang perjalanan update status “Macet itu sudah pasti”, “Pelayanan PT XXXX XXXXX tidak profesional”, “Antrian sudah panjang, pintu XXX masih aja ga dibuka”, “PT XXX mustinya merombak manajemen dan memperbaiki layanan”, dll “keluhan” tersebar di dunia maya.

Keluhan-keluhan atau curhat di dunia maya ini, walaupun merupakan bagian dari “ruang publik” sebenarnya menjadi mata-mata bagi manajemen atau kolega, bahkan bagi kompetitor. Tanpa sadar sebenarnya kita membuka kelemahan kita dengan menggaungkan keluhan kita di “ruang publik” tersebut.

Bagi rekan-rekan yang tinggal di Jakarta, ya memang betul, “macet itu sudah pasti” 😀 justru kalau tidak macet, kita musti waspada, ada apa gerangan yang membuat jalanan lenggang.

Keluhan-keluhan ini di satu sisi, menjadi bagian dari “kebutuhan” manusia sebagai makhluk sosial untuk mengungkapkan isi hatinya (curhat). Tetapi di sisi lain, menjadi buruk ketika yang terungkap melulu hanya sisi keburukan. Apalagi kalau itu berisi keburukan orang lain. Parahnya lagi kalau ungkapan itu dilakukan dengan cara yang kurang pantas atau tidak sopan dalam penyampaiannya.

Kembali ke lingkungan kantor, keluhan-keluhan ini menjadi annoying. Bagi manajemen yang profesional, keluhan-keluhan yang tidak mendasar ini menjadi kerikil yang bisa mengganggu pencapaian tujuan besar perusahaan. Seberapa toleran manajemen tentunya tergantung budaya dan sistem yang berlaku di perusahaan tersebut.

Ada perusahaan yang zero toleran. Ada yang moderat. Bahkan ada yang sangat toleran. Masing-masing mempunyai plus dan minusnya.

Bagi yang zero toleran, semua level di perusahaan mempunyai risiko yang sama. Ketika keluhan (tanpa dasar) terlontar, seketika itu juga bisa langsung check-out dari ruang kerjanya. Itu berlaku bagi semua level.

Bagi yang sangat toleran, dimana karyawan bisa mengungkapkan keluhannya “dengan bebas”, biasanya kondisi ini ada di perusahaan yang karyawannya sudah berada di zona nyaman (comfort zone). Sedikit saja “gangguan” atas remunerasi atau fasilitas kantor, langsung saja keluhan-keluhan itu terlontar. Risiko terpusat di pimpinan unit karena manajemen akan membebankan risiko kepada atasan dengan dalih sebagai pengelola sumber daya manusia yang ada di unit kerja tersebut. Sementara level di bawahnya “lebih aman”.

Allah SWT sebenarnya sudah menyebutkan bahwa sesungguhnya manusia terlahir dengan penuh keluh kesah [QS 70:19-21].

Tetapi tentunya itu bukan menjadi pembenaran buat kita untuk berkeluh kesah, karena di ayat lain Allah SWT juga menyebutkan bahwa kondisi seseorang tidak akan berubah sampai orang tersebut ingin berubah kondisinya sendiri [QS 13:11].

Ayat itu menegaskan bahwa sebenarnya manusia bisa berubah (lebih baik) asalkan ada kemauan (niat) dalam dirinya.

Innama a’malu bin niat [sesungguhnya segala sesuatu itu berdasarkan niatnya]

Kalau memang niat kita baik, keluhan-keluhan itu bisa menjadi baik apabila isi dan cara penyampainnya dengan baik. Saya sendiri tidak yakin, status-status atau obrolan kita akan dibaca atau didengar oleh “target”. Akan lebih baik, apabila disampaikan secara langsung. Bila kaitannya dengan layanan publik, saya yakin ada pusat layanan atau pengaduan pelanggan. Bila perusahaan, biasanya ada call centre atau customer care services. Bila di internal perusahaan, tentunya ada tempat pengaduan atau bimbingan.

Kalau saja keluhan-keluhan itu kita ganti dengan ungkapan rasa syukur, niscaya hasilnya akan sangat baik.

Semisal walaupun terlambat masih bisa berucap “Alhamdulillah, akhirnya sampai kantor dengan selamat”, karena di tempat lain banyak pengendara motor yang “otaknya ketinggalan di rumah” tidak pernah sampai ke tempat tujuan.

“Syukur deh punya kendaraan sendiri”, “Untung, masih bisa kerja”, “Senangnya bisa ketemu teman-teman di kantor”, dll.

Sebagai pengingat (termasuk buat saya sendiri) Allah azza wa jalla mengingatkan umatnya agar selalu bersyukur, bila tidak (alias kufur nikmat) Allah sudah memperingati kita bahwa azab-Nya sangatlah pedih. [QS 14:7] Naudzubillah summa naudzubillah.

Dibawah ini saya mengutip (secara utuh) artikel yang ada di sebuah media online. Tanpa bermaksud mengambil keuntungan (finansial) saya merasa tulisan ini “akan lebih didengar”.

★ ★ ★ ★ ★

Sering Mengeluh Bisa Ganggu Reputasi Kerja
EKONOMI · 24 Jul 2014 22:22

Liputan6.com, New York – Suasana kerja di kantor memang tak selamanya menyenangkan. Anda akan bertemu dengan berbagai karakter dan kondisi yang sering memancing Anda untuk mengeluh.

Mengutip laman Forbes, Kamis (24/7/2014), banyak karyawan yang tidak mencintai tempat kerja atau pekerjaannya sehingga selalu memancing pegawai untuk mengeluh baik di kantor ataupun di luar.

Faktanya, sebuah riset yang digelar Gallup menunjukkan, hanya 13 persen karyawan di seluruh dunia yang merasa terikat dan bertanggungjawab atas pekerjaannya.

Sementara sisanya merupakan karyawan yang tidak fokus saat bekerja di kantor. Biasanya sebagian besar karyawan menghabiskan waktunya untuk mengeluh, bergosip atau melakukan hal-hal tidak penting lainnya.

Konsultan karir Selena Rezvani menegaskan, mengeluh tak akan membantu Anda menyelesaikan pekerjaan di kantor. Meski memang, kemarahan, perasaan kesal dan kecewa akan banyak muncul di tempat kerja.

Rezvani juga tidak menutupi banyak alasan yang membuat para pegawai mengeluh diantaranya anggapan bahwa orang lain senang mendengarkan keluhan tersebut.

Selain itu, dirinya menganggap rekan kerjanya tidak produktif dan dia bekerja sendiri sehingga memancingnya untuk mengeluh.

Tetap saja, Rezvani menegaskan, kebiasaan mengeluh justru berbahaya dan dapat berbalik menghantam karir. Ingat, saat mengeluh, Anda justru menunjukkan betapa lemahnya diri sendiri pada orang lain. Untuk itu dia menyarankan para pegawai untuk berjuang melawan egonya sendiri dan belajar bersikap lebih positif. (Sis/Nrm)

Credits: Nurmayanti

* dikutip seutuhnya tanpa maksud komersial *

Sumber: http://m.liputan6.com/bisnis/read/2082863/sering-mengeluh-bisa-ganggu-reputasi-kerja

★ ★ ★ ★ ★

Semoga bermanfaat dan menjadi pencerahan buat kita semua dan mari kita berhenti (atau setidaknya mengurangi) mengeluh dan penuhi hati dengan rasa syukur agar kita menjadi kaya.

… “Kaya bukanlah diukur dengan limpahan kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup”…
[HR Bukhari & Muslim]

.

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~

20140725-055339-21219594.jpg

20140725-055340-21220524.jpg

20140725-063602-23762202.jpg