EHN Personal Thought · Syiar

Manusia Diciptakan Bersifat Keluh Kesah

Membaca sebuah artikel (terjemahan dari edisi asli dalam Bahasa Inggris) membuka pikiran saya sendiri. Begitu sering kita tiap pagi, ketika akan bersiap menuju tempat kerja, awal hari kita sudah dipenuhi dengan keluhan. Bangun tidur, kepala dan badan terasa berat. Kelopak mata seakan dibebani ribuan ton barbel yang membuatnya sulit terbuka.

Ketika di jalan, keluhan semakin terasa. Jalanan yang padat dan semrawut semakin menaikkan tensi darah. Bagi yang naik kendaraan umum, berdesakan dan kejar-kejaran serta rebut-rebutan pun menjadi bagian rutin di pagi hari. Bagi yang membawa kendaraan pribadi, pun tak lepas dari keluhan, apalagi kalau bukan macet dan stress tingkat tinggi akibat rendahnya disiplin di jalan.

Keluhan-keluhan ini bisa jadi terbawa hingga kantor. Semestinya kita tiba dalam keadaan fresh sehingga bisa melahirkan ide dan gagasan yang strategis, bisa jadi malah yang terjadi adalah kebalikannya.

Kondisi psikis yang “sudah terganggu” membuat kita lebih “fokus” pada mengeluh.

“Eh jeung, tau ga? Tadi tuch ya jalanan macet bingit….”, “Eh gile bener yak, tadi jembatan XXXX macet abiss”, “Hadeuh, mau naik XXXXXX antriannya bejibun”, begitu kira-kira pernyataan (baca: keluhan) pertama ketika ketemu kolega di kantor.

Atau sepanjang perjalanan update status “Macet itu sudah pasti”, “Pelayanan PT XXXX XXXXX tidak profesional”, “Antrian sudah panjang, pintu XXX masih aja ga dibuka”, “PT XXX mustinya merombak manajemen dan memperbaiki layanan”, dll “keluhan” tersebar di dunia maya.

Keluhan-keluhan atau curhat di dunia maya ini, walaupun merupakan bagian dari “ruang publik” sebenarnya menjadi mata-mata bagi manajemen atau kolega, bahkan bagi kompetitor. Tanpa sadar sebenarnya kita membuka kelemahan kita dengan menggaungkan keluhan kita di “ruang publik” tersebut.

Bagi rekan-rekan yang tinggal di Jakarta, ya memang betul, “macet itu sudah pasti” ๐Ÿ˜€ justru kalau tidak macet, kita musti waspada, ada apa gerangan yang membuat jalanan lenggang.

Keluhan-keluhan ini di satu sisi, menjadi bagian dari “kebutuhan” manusia sebagai makhluk sosial untuk mengungkapkan isi hatinya (curhat). Tetapi di sisi lain, menjadi buruk ketika yang terungkap melulu hanya sisi keburukan. Apalagi kalau itu berisi keburukan orang lain. Parahnya lagi kalau ungkapan itu dilakukan dengan cara yang kurang pantas atau tidak sopan dalam penyampaiannya.

Kembali ke lingkungan kantor, keluhan-keluhan ini menjadi annoying. Bagi manajemen yang profesional, keluhan-keluhan yang tidak mendasar ini menjadi kerikil yang bisa mengganggu pencapaian tujuan besar perusahaan. Seberapa toleran manajemen tentunya tergantung budaya dan sistem yang berlaku di perusahaan tersebut.

Ada perusahaan yang zero toleran. Ada yang moderat. Bahkan ada yang sangat toleran. Masing-masing mempunyai plus dan minusnya.

Bagi yang zero toleran, semua level di perusahaan mempunyai risiko yang sama. Ketika keluhan (tanpa dasar) terlontar, seketika itu juga bisa langsung check-out dari ruang kerjanya. Itu berlaku bagi semua level.

Bagi yang sangat toleran, dimana karyawan bisa mengungkapkan keluhannya “dengan bebas”, biasanya kondisi ini ada di perusahaan yang karyawannya sudah berada di zona nyaman (comfort zone). Sedikit saja “gangguan” atas remunerasi atau fasilitas kantor, langsung saja keluhan-keluhan itu terlontar. Risiko terpusat di pimpinan unit karena manajemen akan membebankan risiko kepada atasan dengan dalih sebagai pengelola sumber daya manusia yang ada di unit kerja tersebut. Sementara level di bawahnya “lebih aman”.

Allah SWT sebenarnya sudah menyebutkan bahwa sesungguhnya manusia terlahir dengan penuh keluh kesah [QS 70:19-21].

Tetapi tentunya itu bukan menjadi pembenaran buat kita untuk berkeluh kesah, karena di ayat lain Allah SWT juga menyebutkan bahwa kondisi seseorang tidak akan berubah sampai orang tersebut ingin berubah kondisinya sendiri [QS 13:11].

Ayat itu menegaskan bahwa sebenarnya manusia bisa berubah (lebih baik) asalkan ada kemauan (niat) dalam dirinya.

Innama a’malu bin niat [sesungguhnya segala sesuatu itu berdasarkan niatnya]

Kalau memang niat kita baik, keluhan-keluhan itu bisa menjadi baik apabila isi dan cara penyampainnya dengan baik. Saya sendiri tidak yakin, status-status atau obrolan kita akan dibaca atau didengar oleh “target”. Akan lebih baik, apabila disampaikan secara langsung. Bila kaitannya dengan layanan publik, saya yakin ada pusat layanan atau pengaduan pelanggan. Bila perusahaan, biasanya ada call centre atau customer care services. Bila di internal perusahaan, tentunya ada tempat pengaduan atau bimbingan.

Kalau saja keluhan-keluhan itu kita ganti dengan ungkapan rasa syukur, niscaya hasilnya akan sangat baik.

Semisal walaupun terlambat masih bisa berucap “Alhamdulillah, akhirnya sampai kantor dengan selamat”, karena di tempat lain banyak pengendara motor yang “otaknya ketinggalan di rumah” tidak pernah sampai ke tempat tujuan.

“Syukur deh punya kendaraan sendiri”, “Untung, masih bisa kerja”, “Senangnya bisa ketemu teman-teman di kantor”, dll.

Sebagai pengingat (termasuk buat saya sendiri) Allah azza wa jalla mengingatkan umatnya agar selalu bersyukur, bila tidak (alias kufur nikmat) Allah sudah memperingati kita bahwa azab-Nya sangatlah pedih. [QS 14:7] Naudzubillah summa naudzubillah.

Dibawah ini saya mengutip (secara utuh) artikel yang ada di sebuah media online. Tanpa bermaksud mengambil keuntungan (finansial) saya merasa tulisan ini “akan lebih didengar”.

โ˜… โ˜… โ˜… โ˜… โ˜…

Sering Mengeluh Bisa Ganggu Reputasi Kerja
EKONOMI ยท 24 Jul 2014 22:22

Liputan6.com, New York – Suasana kerja di kantor memang tak selamanya menyenangkan. Anda akan bertemu dengan berbagai karakter dan kondisi yang sering memancing Anda untuk mengeluh.

Mengutip laman Forbes, Kamis (24/7/2014), banyak karyawan yang tidak mencintai tempat kerja atau pekerjaannya sehingga selalu memancing pegawai untuk mengeluh baik di kantor ataupun di luar.

Faktanya, sebuah riset yang digelar Gallup menunjukkan, hanya 13 persen karyawan di seluruh dunia yang merasa terikat dan bertanggungjawab atas pekerjaannya.

Sementara sisanya merupakan karyawan yang tidak fokus saat bekerja di kantor. Biasanya sebagian besar karyawan menghabiskan waktunya untuk mengeluh, bergosip atau melakukan hal-hal tidak penting lainnya.

Konsultan karir Selena Rezvani menegaskan, mengeluh tak akan membantu Anda menyelesaikan pekerjaan di kantor. Meski memang, kemarahan, perasaan kesal dan kecewa akan banyak muncul di tempat kerja.

Rezvani juga tidak menutupi banyak alasan yang membuat para pegawai mengeluh diantaranya anggapan bahwa orang lain senang mendengarkan keluhan tersebut.

Selain itu, dirinya menganggap rekan kerjanya tidak produktif dan dia bekerja sendiri sehingga memancingnya untuk mengeluh.

Tetap saja, Rezvani menegaskan, kebiasaan mengeluh justru berbahaya dan dapat berbalik menghantam karir. Ingat, saat mengeluh, Anda justru menunjukkan betapa lemahnya diri sendiri pada orang lain. Untuk itu dia menyarankan para pegawai untuk berjuang melawan egonya sendiri dan belajar bersikap lebih positif. (Sis/Nrm)

Credits: Nurmayanti

* dikutip seutuhnya tanpa maksud komersial *

Sumber: http://m.liputan6.com/bisnis/read/2082863/sering-mengeluh-bisa-ganggu-reputasi-kerja

โ˜… โ˜… โ˜… โ˜… โ˜…

Semoga bermanfaat dan menjadi pencerahan buat kita semua dan mari kita berhenti (atau setidaknya mengurangi) mengeluh dan penuhi hati dengan rasa syukur agar kita menjadi kaya.

… “Kaya bukanlah diukur dengan limpahan kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup”…
[HR Bukhari & Muslim]

.

~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~

20140725-055339-21219594.jpg

20140725-055340-21220524.jpg

20140725-063602-23762202.jpg

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s