EHN Personal Thought · Pic Story · Travel

Kuliner di kota Karawang

Bila sobat berkesempatan safar ke kota Karawang, berikut salah satu rekomendasi kuliner yang (menurut saya) menjadi pilihan.

Soto tangkar dengan kuah khas Karawang. Isi “standar” berupa potongan kikil / sengkel sapi. Sebagai tambahan bisa dipilih sendiri mulai dari potongan daging, sumsum, paru, dll.

Untuk harga sendiri menurut saya cukup worth it. Dengan merogoh kocek sebesar Rp.71.000 sudah memperoleh 3 Soto (termasuk “topping”) + 3 Nasi + 2 teh tawar + 1 teh manis + 1 kerupuk kulit. Selain itu acar dan sambal juga tersedia cuma-cuma.

Alamat lrngkapnya ada di Jl. Dewi Sartika No.23 – 38, Nagasari, Kec. Karawang Bar., Karawang, Jawa Barat 41312.

#kuliner

#nusantara

EHN Personal Thought · Riyadh · Travel

Berguru Kepada Driver Taksi Berbasis Aplikasi

Ketika saya di negeri orang, saya kerap menggunakan taxi berbasis aplikasi saat pergi/pulang ke/dari tempat kerja. Ada beberapa pertimbangan juga untung-ruginya, tetapi saya lebih memilih untuk membicarakan kebaikan ketimbang kekurangannya.

Salah satunya hal positif yang saya alami adalah kesempatan ketemu dan ngobrol dengan driver dari berbagai latar belakang, bangsa, negara dan dari berbagai kebiasaan.

Obrolan singkat dua kali sehari itu kalau dihitung sepertinya sudah menembus angka 99, baik yang serius maupun yang ngalor ngidul.

* mendadak ingat Ibu (alm) La Rose, yang pernah punya kolom sejenis di sebuah media ibukota jaman dulu|
* age_detected

Namun salah satu yang saya ingat dan sepertinya baik untuk di-share adalah tentang brother Muhammad Ali. Berikut kisahnya.

Seperti biasa, saya selalu menunggu selesai shalat Maghrib sebelum bersiap untuk balik ke rumah (baca: apartemen). Saya memilih berjamaah dulu di masjid di kawasan Sulaimaniya. Selain menunggu cuaca agak teduh, juga supaya terik matahari tidak terlalu menyakiti kulit yang agak sensitif ini.

Ketika itu saya ingat waktu menunjukkan pukul 19:15 waktu setempat (Maghrib saat itu pukul 18:30, Isya baru akan masuk pukul 20:00). Sembari berjalan menuju tempat yang aman buat pejalan kaki, saya mulai memesan taksi via aplikasi online.

Penting:
Pastikan anda berada di lokasi yang aman, karena rata-rata selama satu bulan terjadi sekitar 45.500 kecelakaan lalu lintas di seluruh negeri ini, artinya sekitar 1.515 per hari, alias sekitar 100 kecelakaan per jam (selama jam kerja)

Tak lama menerima notifikasi konfirmasi. Sembari melakukan pelacakan (tracking) terlihat bahwa sang captain cuma 0.2 km saja dari lokasi saya menunggu. Dengan mobil produksi Korea yang populer di sini, saya pun membuka pintu sembari mengucapkan salaam. Dibalas dengan logat khas bangsa Asia Selatan yang jumlah warganya terbilang banyak bekerja di kawasan teluk.

Diawali dengan basa-basi, kheif halk (kalau secara tata bahasa kita belajarnya “khaifa haluk” = bagaimana kabar anda), dst, dst. Dia mulai cerita soal bangsanya yang banyak di sini. Lalu tiba saatnya, saya bertanya balik “menurut antum, saya darimana?” Seperti dugaan saya, dia pun menjawab Filipina. Saya tersenyum, dan membalas “laa” (bukan), saya dari Indonesia.

Dia (dan semua orang yang tahu saya dari Indonesia) lalu sigap membalas, waah Indonesia hebat. Tanpa kesan menjilat, dia juga menyebutkan bahwa orang Indonesia (yang kerja di sana) dikenal ramah, pekerja keras dan patuh kepada kafil (majikan, perusahaan). Hampir semua orang mengenal Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia, sehingga hampir pasti, orang berkebangsaan lain akan menganggap semua orang Indonesia adalah Muslim. Aamiin, ya Rabb.

Kembali ke brother Muhamamd Ali tadi, dia cerita bahwa dia baru saja (akan) diberhentikan dari tempat kerjanya sekarang. Perusahaan tempat dia bekerja di bidang jasa konstruksi dan maintenance, memang sedang mengalami guncangan, akibat sepi order. Alhasil, perusahaan harus melakukan rasionalisasi, termasuk brother Muhammad Ali ini. Dia sendiri baru setahun bekerja di Saudi. Namun apa boleh buat, keputusan perusahaan diambil, sehingga ia sedang menunggu hari-hari terakhir sejak dia mendapatkan notice dari perusahaan.

Dia pun, bertanya sekiranya saya mempunyai kesempatan kerja buat dia, atau setidaknya bisa mereferensikan dia ke perusahaan manapun. Dengan berbagai pengalaman, dia menyatakan siap bekerja di bidang apapun, di sektor apapun. Saya sampaikan dengan santun, bahwa saya sendiri relatif baru tempat saya bekerja, tetapi tidak ada salahnya kalau coba meneruskan lamarannya.

Menariknya, dia bilang bahwa, dia bergabung ke taksi berbasis aplikasi, dengan harapan bisa ketemu executive (seperti itu disebutnya white collar di sini), sehingga kesempatan dia bertemu dan menyampaikan “lamaran” secara langsung jadi lebih terbuka. Bahkan bisa sekalian wawancara menurutnya. Hmm, betul juga pikir saya.

Dari pembicaraan singkat sepanjang perjalanan itu, saya bisa mengambil beberapa nilai positif. Yang pertama adalah, bahwa kehilangan pekerjaan adalah sesuai hal yang mungkin terjadi, ke siapa saja, di mana saja, terlepas dari pengalaman, keahlian, pendidikan, dan embel-embel lainnya.

Yang kedua adalah, saya melihat tindakan yang dilakukannya adalah cerdik. Dengan nyambi sebagai captain taksi berbasis aplikasi, dia sudah membuka pintu silaturrahmi dengan orang lain. Patut kita yakini, ikhtiar ini selain memperpanjang umur juga membuka pintu rejeki. Aamiin.

Hal positif lainnya adalah bangsa Indonesia masih dikenal dan dihargai sebagai bangsa yang baik, pekerja keras dan bernilai postif di antara bangsa lain.

Hal terakhir walaupun bukan yang terlupakan, kita harus selalu mengucapkan syukur alhamdulillah ke hadirat illahi atas segala rahmat dan karunia yang selalu dilimpahkan kepada kita. Tak lupa selalu kita panjatkan doa, agar kita terhindar dari kufur nikmat, dan agar kita bisa menjadi makhluk yang selalu bersyukur.

Di perpisahan, saya sengaja memberikan uang besar berlebih (sebagai tips) atas biaya taksi, tetapi dengan santun dia menolak dan mengatakan bahwa rejekinya adalah dengan dia bekerja dan mendapatkan upah, sudah cukup. Saya sendiri, menolak menerima kembaliannya. Alhasil, dia menambahkan selisihnya sebagai credit di aplikasi buat dana saya apabila akan menggunakan aplikasi untuk perjalanan berikutnya.

Tabarakallah brother Muhammad Ali dan seluruh umat Muslim. Semoga niat hijrah dan jihad yang dijalani mendapatkan amal kebaikan di sisi Allah azza wa jalla.

Aamiin ~

EHN Personal Thought · Travel

Antara Mudik, Balik Kampong dan Balik Bayan

Seperti biasa, setiap tahunnya menjelang Hari Raya Idul Fitri, bangsa Indonesia digeluti dengan ritual liburan. Selain libur sekolah, para pekerja pun menjalani libur. Selain libur Cuti Bersama sebelum dan setelah 1 Syawal, beberapa juga menambahkan dengan mengambil jatah cuti tahunannya.

Indonesia dengan kemajemukannya, menyebabkan terjadinya migrasi penduduk dari satu kota ke kota lain. Satu pulau ke pulau lainnya. Ada yang sudah beberapa generasi “terpisah” dari tanah leluhurnya, ada pula generasi baru yang “terpisah” dengan orang tuanya.

Alhasil, sebagian besar penduduk yang migrasi tadi memanfaatkan libur panjang untuk kembali ke tanah leluhur atau kembali ke tempat dimana orang tuanya. Istilah yang populer digunakan adalah “mudik”, yang secara literasi artinya kembali ke udik (kampung). Istilah lainnya ” pulang kampung”.

Kalau saya tidak salah kutip, estimasi total perputaran dana menjelang dan selama mudik, mencapai IDR 110 triliun. Angka ini, berupa zakat, infaq, shadaqah, kiriman dana ke kampung halaman, biaya liburan, biaya transportasi (tol, bensin), biaya kuliner, biaya akomodasi dsj.

Mudik ini ternyata bukan hanya ada di Indonesia. Dari pengalaman menjelajah kawasan, saya “turut merasakan” suasana mudik di Malaysia dan Filipina. Mudik di Malaysia, hampir mirip dengan di Indonesia. Di kota utama, seperti Kuala Lumpur, momentum Idul Fitri digunakan penduduk Muslim di sana untuk “balik kampong”. KL serasa kota mati, sebagian besar toko-toko tutup karena tidak ada pekerja yang masuk di Hari Raya Aidil Fitr. Walaupun di Malayaia tidak dikenal Cuti Bersama, tetapi dengan jatah Cuti Tahunan berkisar 12-28 hari mereka bisa memanfaatkannya di Aidil Fitr.

Lain lagi di Filipina, pengalaman saya melakukan dinas di penghujung tahun dari Jakarta juga mulai terasa dari sulitnya mendapatkan jadwal penerbangan ke Manila. Seingat saya waktu itu, karena dinas, “terpaksa” merasakan duduk di kelas utama. Alhamdulillah. Pesawat yang transit di Singapura dipenuhi oleh “overseas workers” yang hendak melakukan “balik bayan” (balik kampung, pulang kampung – red).

Saya sendiri bukan berasal dari keluarga yang mudik. Walaupun ayah kami berasal adalah produk migrasi dari pulau seberang, tetapi beliau sendiri tidak mengkhususkan diri kembali ke kampungnya setiap tahun. Tentunya dengan berbagai alasan dan kondisi yang dialami sepertinya memang agak sulit bila setiap tahun menempuh 2 jam penerbangan ditambah 8 jam menerobos kebun sawit dan hutan, sebelum tiba di kampung yang (sampai 10 tahun lalu) belum dialiri listrik.

Alhasil, setiap tiba momentum Idul Fitri, kami menjalaninya di ibukota dengan ritual berkumpul di rumah orang tua dan berkeliling ke rumah sanak saudara dan handai taulan serta kerabat.

Pengalaman ketika mencoba “mudik” di hari kedua Syawal kami rasakan kurang menyenangkan. Rencana mengisi waktu liburan ke luar kota yang hanya berjarak 200 KM, pun kami nikmati dengan belasan jam di dalam kendaraan saja, ihiks (baca: macet total). Setibanya di kota tujuan pun, tidak dapat kami nikmati sepenuhnya karena jalanan yang padat, sehingga kami memilih menikmati wisata air yang memang tersedia di hotel. Walau demikian, anak-anak kami, tetap menikmati masa liburannya dan turut merasakan mudik.

Travel

Kunker

image

(Contoh Visa on Arrival)

Mari, mari…
Murah! Murah!
Satu, dua, tiga, empat, ……. sepuluh
Murah! Murah!

Sejenak saya berpikir ada di Pasar Tanah Abang. Padahal saat itu saya sedang berjalan menelusuri pasar di kota Istanbul.

Bisa-bisanya nich orang Turkey berbahasa Indonesia. Edannya lagi bisa-bisanya dia mengenali saya sebagai orang Indonesia.

Terlepas dari kekaguman saya atas kemampuan (dasar) pedagang berbahasa asing (termasuk bahasa Indonesia) saya meyakini bahwa banyak turis asal Indonesia yang menyempatkan diri mampir ke pasar tradisional ini.

Saya sendiri bukan tipikal pembelanja yang mampir dan membeli segala sesuatu buat sendiri atau kerabat. Mungkin sudah kebiasaan dan sadar diri bahwa perjalanan saya merupakan bagian dari dinas kantor. Jadinya, saya merasa sah-sah saja kalau kembali ke tanah air dengan tangan hampa… * ngelesdotkom 😛