EHN Personal Thought · Riyadh · Travel

Berguru Kepada Driver Taksi Berbasis Aplikasi

Ketika saya di negeri orang, saya kerap menggunakan taxi berbasis aplikasi saat pergi/pulang ke/dari tempat kerja. Ada beberapa pertimbangan juga untung-ruginya, tetapi saya lebih memilih untuk membicarakan kebaikan ketimbang kekurangannya.

Salah satunya hal positif yang saya alami adalah kesempatan ketemu dan ngobrol dengan driver dari berbagai latar belakang, bangsa, negara dan dari berbagai kebiasaan.

Obrolan singkat dua kali sehari itu kalau dihitung sepertinya sudah menembus angka 99, baik yang serius maupun yang ngalor ngidul.

* mendadak ingat Ibu (alm) La Rose, yang pernah punya kolom sejenis di sebuah media ibukota jaman dulu|
* age_detected

Namun salah satu yang saya ingat dan sepertinya baik untuk di-share adalah tentang brother Muhammad Ali. Berikut kisahnya.

Seperti biasa, saya selalu menunggu selesai shalat Maghrib sebelum bersiap untuk balik ke rumah (baca: apartemen). Saya memilih berjamaah dulu di masjid di kawasan Sulaimaniya. Selain menunggu cuaca agak teduh, juga supaya terik matahari tidak terlalu menyakiti kulit yang agak sensitif ini.

Ketika itu saya ingat waktu menunjukkan pukul 19:15 waktu setempat (Maghrib saat itu pukul 18:30, Isya baru akan masuk pukul 20:00). Sembari berjalan menuju tempat yang aman buat pejalan kaki, saya mulai memesan taksi via aplikasi online.

Penting:
Pastikan anda berada di lokasi yang aman, karena rata-rata selama satu bulan terjadi sekitar 45.500 kecelakaan lalu lintas di seluruh negeri ini, artinya sekitar 1.515 per hari, alias sekitar 100 kecelakaan per jam (selama jam kerja)

Tak lama menerima notifikasi konfirmasi. Sembari melakukan pelacakan (tracking) terlihat bahwa sang captain cuma 0.2 km saja dari lokasi saya menunggu. Dengan mobil produksi Korea yang populer di sini, saya pun membuka pintu sembari mengucapkan salaam. Dibalas dengan logat khas bangsa Asia Selatan yang jumlah warganya terbilang banyak bekerja di kawasan teluk.

Diawali dengan basa-basi, kheif halk (kalau secara tata bahasa kita belajarnya “khaifa haluk” = bagaimana kabar anda), dst, dst. Dia mulai cerita soal bangsanya yang banyak di sini. Lalu tiba saatnya, saya bertanya balik “menurut antum, saya darimana?” Seperti dugaan saya, dia pun menjawab Filipina. Saya tersenyum, dan membalas “laa” (bukan), saya dari Indonesia.

Dia (dan semua orang yang tahu saya dari Indonesia) lalu sigap membalas, waah Indonesia hebat. Tanpa kesan menjilat, dia juga menyebutkan bahwa orang Indonesia (yang kerja di sana) dikenal ramah, pekerja keras dan patuh kepada kafil (majikan, perusahaan). Hampir semua orang mengenal Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia, sehingga hampir pasti, orang berkebangsaan lain akan menganggap semua orang Indonesia adalah Muslim. Aamiin, ya Rabb.

Kembali ke brother Muhamamd Ali tadi, dia cerita bahwa dia baru saja (akan) diberhentikan dari tempat kerjanya sekarang. Perusahaan tempat dia bekerja di bidang jasa konstruksi dan maintenance, memang sedang mengalami guncangan, akibat sepi order. Alhasil, perusahaan harus melakukan rasionalisasi, termasuk brother Muhammad Ali ini. Dia sendiri baru setahun bekerja di Saudi. Namun apa boleh buat, keputusan perusahaan diambil, sehingga ia sedang menunggu hari-hari terakhir sejak dia mendapatkan notice dari perusahaan.

Dia pun, bertanya sekiranya saya mempunyai kesempatan kerja buat dia, atau setidaknya bisa mereferensikan dia ke perusahaan manapun. Dengan berbagai pengalaman, dia menyatakan siap bekerja di bidang apapun, di sektor apapun. Saya sampaikan dengan santun, bahwa saya sendiri relatif baru tempat saya bekerja, tetapi tidak ada salahnya kalau coba meneruskan lamarannya.

Menariknya, dia bilang bahwa, dia bergabung ke taksi berbasis aplikasi, dengan harapan bisa ketemu executive (seperti itu disebutnya white collar di sini), sehingga kesempatan dia bertemu dan menyampaikan “lamaran” secara langsung jadi lebih terbuka. Bahkan bisa sekalian wawancara menurutnya. Hmm, betul juga pikir saya.

Dari pembicaraan singkat sepanjang perjalanan itu, saya bisa mengambil beberapa nilai positif. Yang pertama adalah, bahwa kehilangan pekerjaan adalah sesuai hal yang mungkin terjadi, ke siapa saja, di mana saja, terlepas dari pengalaman, keahlian, pendidikan, dan embel-embel lainnya.

Yang kedua adalah, saya melihat tindakan yang dilakukannya adalah cerdik. Dengan nyambi sebagai captain taksi berbasis aplikasi, dia sudah membuka pintu silaturrahmi dengan orang lain. Patut kita yakini, ikhtiar ini selain memperpanjang umur juga membuka pintu rejeki. Aamiin.

Hal positif lainnya adalah bangsa Indonesia masih dikenal dan dihargai sebagai bangsa yang baik, pekerja keras dan bernilai postif di antara bangsa lain.

Hal terakhir walaupun bukan yang terlupakan, kita harus selalu mengucapkan syukur alhamdulillah ke hadirat illahi atas segala rahmat dan karunia yang selalu dilimpahkan kepada kita. Tak lupa selalu kita panjatkan doa, agar kita terhindar dari kufur nikmat, dan agar kita bisa menjadi makhluk yang selalu bersyukur.

Di perpisahan, saya sengaja memberikan uang besar berlebih (sebagai tips) atas biaya taksi, tetapi dengan santun dia menolak dan mengatakan bahwa rejekinya adalah dengan dia bekerja dan mendapatkan upah, sudah cukup. Saya sendiri, menolak menerima kembaliannya. Alhasil, dia menambahkan selisihnya sebagai credit di aplikasi buat dana saya apabila akan menggunakan aplikasi untuk perjalanan berikutnya.

Tabarakallah brother Muhammad Ali dan seluruh umat Muslim. Semoga niat hijrah dan jihad yang dijalani mendapatkan amal kebaikan di sisi Allah azza wa jalla.

Aamiin ~

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s