Industri asuransi syariah akan menjalani stress test (terberat) dengan adanya akumulasi ujian. Kesemuanya merupakan imbas dari penyebaran virus Corona (COVID-19).
Dampak pertama kali yang dirasakan oleh industri asuransi syariah adalah penghentian sementara penyelenggaraan ibadah umrah. Ibadah umrah merupakan salah satu tulang punggung baru industri asuransi syariah pasca ditetapkannya kewajiban penggunaan asuransi dengan prinsip syariah bagi seluruh jamaah umrah dari Indonesia. Sebagaima diketahui, jumlah jamaah umrah per tahunnya mencapai angka 1 juta jamaah.
Dengan bilangan yang besar ini, selain sebagai data base, juga menjadi potensi pasar untuk cross-selling produk asuransi lainnya. Di titik awal, bisa jadi sebagai pintu untuk meningkatkan literasi. Setidaknya setiap tahun akan ada 1 juta orang yang mengetahui asuransi syariah, yaitu dari jaminan asuransi syariah bagi jamaah umrah.
Dari sisi pendapatan kontribusi, dapat dikatakan belum terlalu signifikan bagi industri. Dengan besaran kontribusi yang hanya 50 ribu Rupiah namun sudah meliputi 6 (enam) jaminan, angka ini relatif ekonomis. Alhasil, secara akumulasi dalam setahun hanya akan memberikan pertambahan 50 miliar Rupiah.
Namun, kembali seperti disinggung di atas, dengan database 1 juta orang, dimana secara umum dapat dikatakan bahwa peserta umrah adalah kelas menengah ke atas, maka data yang bisa diperoleh merupakan data “premium”. Ingat, data is the new oil.
Di sisi lain, dengan market base 1 juta jamaah per tahun, bila diasumsikan perusahaan asuransi syariah dapat memanfaatkan database dan memperoleh cross-selling sebanyak 10% saja, maka sudah 250 ribu orang yang akan membeli produk asuransi syariah lain. Justru produk-produk asuransi syariah (cross-selling) ini yang sebenarnya lebih memberikan kontribusi. Semisal, untuk kendaraan bermotor, bila diasumsikan 10% jamaah memiliki kendaraan dan menggunakan asuransi syariah, maka perolehannya bisa mencapai 250 miliar Rupiah per tahun. (a)
Hal serupa bisa di-estimasi dari jamaah haji yang berjumlah 220 ribu orang. Dengan metode cross-selling, namun dengan pendekatan yang lebih “pesimis” karena segmentasi jamaah haji relatif beragam, bahkan cenderung medium ke bawah, maka perolehan kontribusi bisa mencapai 30 miliar. (b)
Tanpa perlu merundung karena ujian yang sedang kita jalani bersama, ada beberapa kiat yang bisa dijalani. Tidak bisa dipungkiri bahwa asuransi masih merupakan industri yang penuh dengan sentuhan personal. Pertemuan fisik antara (agen) perusahaan asuransi dengan (calon) nasabah, masih sangat dominan di industri ini. Alhasil, dengan adanya anjuran pemerintah terkait pembatasan keluar rumah, maka ini pun akan berdampak bagi industri asuransi syariah.
Di satu sisi, ujian ini bisa menjadi “free advertisement” bagi industri asuransi syariah. Keadaan yang ada, menunjukkan dan mendorong kita, dan masyarakat awam, bahwa setiap saat kita harus terus berusaha (ikhtiar) sebelum berserah diri kepada yang Maha Kuasa (tawakkal).
Asuransi syariah sebenarnya merupakan salah satu cara ikhtiar manusia. Asuransi syariah bukan untuk merubah apalagi penghilang takdir, melainkan sebatas ikhtiar manusia untuk memenuhi maqashid syariah, antara lain dalam hal menjaga harta.
Pendekatan yang dilakukan, bukan melulu membawa ayat-ayat yang dikait-kaitkan dengan kondisi atau musibah yang sedang ada, melainkan untuk mengingatkan kepada seluruh kalangan masyarakat, bahwa setidaknya, tersedia jaminan asuransi syariah yang dapat dimanfaatkan oleh ummat untuk pengelolaan risiko maupun manajemen keuangannya dengan prinsip syariah
Kembali ke kendala bahwa keterbatasan pertemuan secara langsung sebagaimana di atas, maka diperlukan alternatif “pertemuan” dan konsultansi. Saat ini cara paling efektif, terlebih bagi kalangan milenial, adalah tersedianya website dan dek help yang responsif. Semasa orang bekerja di rumah, diyakini penggunaan internet dan konsumsi data akan melonjak. Bila saja ada query mengenai asuransi syariah ditujukan ke salah satu perusahaan asuransi syariah, maka tanggapan yang responsif bisa membuahkan hasil berupa persetujuan penerbitan polis asuransi syariah.
Hal lain yang juga bisa diupayakan adalah melalui tele-marketing. Walau untuk hal ini terkadang masih terkesan “disturbing” dan “annoying” tetapi penggunaan skema telemarketing ini masih efektif untuk meningkatkan inklusi keuangan di asuransi syariah bagi masyarakat. Penggunaan metode yang tepat dan sesuai dengan peraturan perundangan serta sesuai dengan norma justru bisa menimbulkan efek simpati dan apresiasi dari nasabah yang memutuskan untuk mendapatkan jaminan asuransi syariah.
Kembali ke judul tulisan, in the end, kita semua sepertinya harus berada dalam posisi “kepepet” untuk bisa mengeluarkan jurus-jurus yang paling efektif di masa sulit.
Wallahu a’lam bish shawab.
Catatan kaki:
(a) asumsi harga kendaraan di kisaran 100 juta Rupiah, dan kontribusi asuransi syariah Rp. 3 juta per kendaraan dikalikan 250 ribu kendaraan (10% dari total jamaah umrah)
(b) asumsi harga kendaraan di kisaran 100 juta Rupiah, dan kontribusi asuransi syariah Rp. 3 juta per kendaraan dikalikan 11 ribu kendaraan (5% dari total jamaah haji)