Pada tanggal 30 Juli 2018, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah telah mengeluarkan Surat Keputusan nomor 336 tahun 2018 berisikan kewajiban bagi jemaah umrah yang terdaftar melalui sistem sipatuh untuk mendapatkan asuransi pada perusahaan asuransi berbasis syariah yang sudah terdaftar pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Menyadari jemaah umrah yang sangat besar jumlahnya dan terus bertambah setiap tahunnya, tentunya hal ini menjadi potensi tersendiri bagi asuransi syariah, utamanya dalam produk asuransi perjalanan syariah (sharia travel insurance). Bila mengacu kepada data Kementrian Agama yang menyebutkan kisaran angka 800.000 jemaaah yang mengadakan perjalanan umrah setiap tahunnya. Dengan menghilangkan masa dan musim haji, maka secara rerata terdapat 3.000 jemaah mengadakan perjalanan umrah setiap harinya.
Hal tersebut tentunya sebuah angka yang signifikan, terlebih dengan semakin mundurnya antrian bagi jemaah haji di tanah air yang kini sudah mencapai 17 tahun masa tunggu, menunjukkan korelasi positif bagi pertumbuhan jemaah umrah setiap tahunnya. Secara informal, penulis mendapatkan informasi bahwa jumlah ummat yang melaksanakan ibadah umrah bisa mencapai kisaran 2 juta setahunnya.
Umrah bukan hanya sebagai rangkaian ibadah sunnah, tetapi juga menjadi bagian dari leisure bagi kalangan menengah yang terlihat semakin menunjukkan religious concern. Alhasil, perjalanan umrah merupakan sebuah bisnis yang menjanjikan, termasuk bagi asuransi (syariah).
Penetapan SK Dirjen di atas, tentunya merupakan bagian upaya bagi “pengembalian” rangkaian bisnis syariah ke lahan syariah. Perjalanan umrah yang merupakan bagian dari kaidah syariah Islam semestinya memang diasuransikan sesuai dengan kaidah syariah pula. Ini bukanlah sebuah aktivitas “kanibalisme” terhadap bisnis konvensional. Ini merupakan makanan yang merupakan piring dari value chain syariah itu sendiri.
Bicara potensi, dengan menggunakan data Kemenag di atas, yaitu 800.000 jemaah, dan dengan menggunakan asumsi tarif kontribusi per jemaah adalah Rp.100.000 per orang, maka setahun bisa diperoleh total kontribusi sebanyak Rp. 80 miliar. Sebuah angka yang cukup signifikan bagi industri asuransi (umum) syariah. Bila angka ini masuk ke dalam kantong asurnasi umum syariah, maka akan mendongkrak pertumbuhan sekitar 8% dari total kontribusi nasional per tahunnya. Padahal di pasaran, tarif kontribusi yang ditawarkan berada di atasnya dengan kisaran Rp.300.000 per perjalanan per orang.
Saat ini tercatat 15 perusahaan asuransi syariah (baik unit maupun full-fledged) yang sudah mengantongi ijin produk asuransi perjalanan syariah. Bahkan diyakini, masih ada beberapa perusahaan lain yang sedang menantikan keluarnya ijin produk asuransi perjalanan syariah dari pihak Otoritas. Sehingga ke depannya semakin banyak opsi bagi jemaah untuk memilih perusahaan yang sesuai dengan kriteria masing-masing.
Di sisi lain, pihak Otoritas menunjukkan itikad yang sangat baik dengan berinisiatif dalam membangun awareness masyarakat dan pihak penyelenggaran perjalanan umrah untuk menggunakan jasa asuransi syariah. Patut diacungi jempol upaya yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan, utamanya Direktorat Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Syariah, dalam fungsinya mengembangkan asuransi syariah.
Di sisi lain, peran Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) yang menaungi semua perusahaan asuransi syariah, pun perlu mendapatkan apresiasi. AASI cukup berperan dalam menjaga pertumbuhan industri dengan membangun komunikasi dengan semua pihak terkait. Peran penting dalam menyuarakan aspirasi para Anggota dikemas dalam komunikasi rutin dan berkala dengan berbagai pemangku kepentingan industri.
Mari Berasuransi Syariah!