Memaknai Penerapan Syariah di Pengelolaan Koperasi
Artikel pertama
Pasca aksi damai yang berhasil mengumpulkan jutaan ummat di jantung negara kita tahun 2016 lalu menimbulkan semangat baru ber-Islam. Beberapa media mainstream bahkan menyebut bahwa Indonesia sudah memasuki fase post-Islamisme. Saya sendiri, secara pribadi, tidak setuju terhadap istilah yang disematkan pada periode ini. Islam seyogyanya telah, selalu dan akan membara di setiap (pengaku) muslim/ah.
Kembali ke judul dan topik pembahasan, alhasil, aksi damai tersebut turut berkontribusi atas tumbuh dan menjamurnya koperasi syariah di tanah air. Semua meyakini bahwa koperasi syariah merupakan satu-satunya lembaga keuangan yang mampu menyalurkan aspirasi ummat yang sedang berada di puncak “keislamannya”.
Semangat yang tinggi saja, tentunya belum cukup untuk mengembangkan sebuah usaha. Usaha?
Koperasi itu sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yaitu (a) KO dan (b) OPERASI. Ko berarti bersama atau sama-sama, sedangkan OPERASI berarti usaha atau kegiatan atau aktivitas. Singkatnya koperasi adalah usaha bersama.
Di antara 3 badan hukum yang diakui di Indonesia, koperasi merupakan gabungan antara usaha yang mempunyai misi sosial (yayasan) atau yang mempunyai misi bisnis (perseroan). Karena adanya dua misi tersebut, tentunya pengelolaannya pun meliputi dua konsideran.
Konsideran pertama adalah misi sosial yang tidak memperhitungkan untung atau rugi secara komersial. Dalam fiqh muamalah, hal ini masuk ke dalam ranah akad tabarru’ (non-profit). Kondiseran kedua adalah misi bisnis yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari kerugian dari suatu usaha tertentu. Dalam fiqh muamalah, hal ini masuk ke akad tijarah atau tijari (profit oriented).
Nah, karena dalam kegiatan perkoperasian terdapat dua akad yang berjalan sejalan, maka para pihak terkait harus sangat berhati-hati, agar antara satu-sama-lain tidak tertukar akadnya. Jangan sampai, suatu misi sosial dihitung untung-ruginya, sementara suatu bisnis dianggap kegiatan amal (sosial).
Untuk artikel pertama ini, kita belum masuk jauh ke kajian fiqh muamalah. Dan untuk itu, kita kembali ke topik pembahasan awal, yaitu bagaimana penerapan kaidah syariah di sebuah Koperasi.
Ternyata, sebagai langkah awal penerapannya, timbul sebuah pertanyaan, apakah cukup dengan “Koperasi” saja?
Ternyata tidak!
Untuk lebih mengedepankan semangat yang sedang membara, maka yang dibentuk adalah “Koperasi Syariah”. Catat bahwa terdapat imbuhan kata Syariah. Penambahan kata “Syariah” ini seharusnya bukan semata-mata disematkan agar bisa menjaring ummat saja.
Kata “Syariah” di belakang kata Koperasi menimbulkan sebuah konsekuensi, bahwa lembaga tersebut harus bersedia dan mampu menjalankan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah. Ibaratnya seorang mualaf, dengan sudah bersyahadat, maka sejak saat itulah ia mempunyai kewajiban untuk menjalankan seluruh syariat Islam.
Pun demikian yang seharusnya terjadi di Koperasi Syariah.
Wallahu a’lam bish shawab.
Bagaimana sebuah usaha Koperasi bisa dikatan sesuai dengan Syariah? Setidaknya, ada beberapa hal yang harus terhindar dalam setiap gerak langkah usaha tersebut.
(1) Usaha dan/atau aktivitas tidak mengandung unsur Riba (ziyadah). Secara singkat, riba adalah penambahan atas sesuatu. Semisal pertukaran antara benda yang nilainya Rp.100 dengan manfaat yang bernilai Rp.1.000. Koperasi Syariah bisa dikatakan sesuai dengan kaidah syariah, apabila dalam usahanya tidak ada sedikit pun unsur riba dalam pengelolaannya. Hal ini tentunya termasuk tidak memfasilitasi aktivitas ribawi di lingkungannya.
(2) Usaha dan/atau aktivitas Koperasi Syariah tidak mengandung unsur gharar (ketidak jelasan). Secara singkat gharar serupa dengan sistem ijon, dimana pembelian atau penjualan atas suatu barang, sementara spesifikasi barang tersebut belum atau tidak jelas. Koperasi Syariah pun bisa dianggap sesuai dengan kaidah syariah, apabila tidak ada unsur di atas. Misalnya tidak mengakomodir fasilitas bagi seseorang untuk melakukan riba, walaupun Koperasi Syariah “hanya” sekedar mencatat atau mendapatkan imbal jasa. Hal ini penting dihindari karena azab dan laknat Allah atas Riba bukan hanya meliputi para pelaku (penjual dan pembeli) tetapi juga termasuk pencatatnya (akuntan, notaris, dsj).
(3) Usaha dan/atau aktivitas Koperasi Syariah tidak mengandung unsur maysir (judi). Maysir identik dengan bisnis yang spekulatif. Sementara secara sunatullah hasil dari sebuah usaha bisa untung atau bisa rugi. Namun Koperasi Syriah bisa dikatakan sesuai dengan kaidah Syariah apabila dalam usahanya tidak terlibat dalam bisnis perjudian atau yang sifatnya spekulatif. Tentunya termasuk di dalamnya tidak memfasilitasi aktivitas yang mengandung maysir. Misalnya menyediakan fasilitas pembelian kupon judi, walaupun sekedar menyewakan tempat.
(4) Usaha dan/atau aktivitas Koprasi Syariah tidak mengandung unsur atau zat haram, seperti babi, bangkai, alkohol, narkotika, dsj. Dengan berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, maka seharusnya pun, Koperasi Syariah tidak menyediakan atau menjual produk makanan dan minuman yang tidak mempunyai logo atau sertifikat halal.
(5) Usaha dan/atau aktivitas Koperasi Syariah tidak mengandung unsur maksiat, seperti pornografi, pornoaksi, asusila, dsj. Semisal alat kontrasepsi yang notabene digunakan untuk kegiatan asusila, maka seidealnya Koperasi Syariah tidak menjual produk ini.
(6) Usaha dan/atau aktivitas Koperasi Syariah tidak mengandung unsur dzulm (zalim). Dzulm artinya tidak adil atau tidak menempatkan sesuai sesuai dengan porsinya. Dalam pengelolaan Koperasi Syariah wajib dihindari adanya tekanan atau paksaan terhadap salah satu pihak. Semisal pemberian upah yang sewajarnya kepada karyawan atau pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaannya. Untuk menjadi pengingat bahwa usaha Koperasi meliputi dua misi, yaitu sosial dan bisnis. Secara sosial, bisa saja seseorang dengan ikhlas membantu, namun dalam pengelolaan bisnis, akadnya adalah tijarah yang harus berorientasi kepada profit (marjin) yang salah satunya adalah agar bisa membiayai gaji atau upah karyawan atau pegelola lainnya.
(7) Usaha dan/atau aktivitas Koperasi Syariah tidak mengandung unsur tadlis (penipuan), termasuk di dalamnya adalah produk palsu, barang tiruan, berkualitas rendah, dsj. Koperasi Syariah harus berani menyampaikan cacat (bila ada) di sebuah produk dan/atau jasa yang ditawarkannya.
Atas kondisi di atas, sebuah usaha Koperasi Syariah harus mampu berkata tidak dan tidak memberikan ruang atau dukungan apalagi memfasilitasi aktivitas-aktivitas di atas.
Di tulisan ini mari coba kita ambil contoh sederhana mengenai unsur riba. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa dosa riba meliputi para pelaku (pemberi dan penerima) termasuk pencatatnya. Apabila kita mencatat aktivitas riba saja, tentunya berarti sudah terkena hukum riba. Apabila kita mengambil keuntungan dari aktivitas riba tersebut, tentunya masuk pula ke dalam hukum riba. Wallahu a’lam bish shawab.
So, apakah lembaga keuangan yang ada imbuhan kata “syariah” akan menerapkan kaidah syariah dengan istiqamah, atau ….. (?)
EHN
Ponorogo, 03-02-2019
– berlanjut –