When in Rome, act like a Roman.
Peribahasa di atas mengajarkan kita untuk berperilaku dan beretika sesuai tempat, situasi dan kondisinya. Sebuah contoh sederhana adalah etika berpakaian. Adalah sangat wajar dan pantas menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang sedang dihadapi.
Ketika menghadiri undangan di sebuah hotel berbintang, adalah kewajiban bagi kita turut menghormati tuan rumah. Mengenakan pakaian yang pantas menjadi sebuah perhatian, misalnya mengenakan batik lengan panjang atau jas. Sebaliknya, ketika menghadiri undangan kajian di rumah sahabat, adalah kewajiban bagi kita menghormati tuan rumah dan adabnya. Mengenakan pakaian yang pantas menjadi sebuah perhatian, misalnya mengenakan baju koko atau sarung.
Hal lain adalah bagaimana kita bersikap di situasi tertentu. Kali ini saya ingin mengupas sedikit yang terkait dengan ekonomi berjamaah. Saat ini boleh dibilang, pembahasan tentang ekonomi berjamaah sedang populer dan menjadi trending topic di kalangan masayarakat umum. Bahkan orang yang awam pun, banyak yang ikut-ikutan dalam kegiatan ini. Alhasil, bukan tidak mungkin pemahaman yang dimiliki oleh orang awam jauh berbeda dengan fondasi ekonomi berjamaah itu sendiri.
Untuk dicatat, orang awam yang dimaksud di sini bukanlah orang-orang dengan tingkat pendidikan atau ekonomi rendah. Yang dimaksud dengan orang awam adalah orang yang minim literasinya tentang ekonomi berjamaah, walaupun tingkat pendidikan maupun tingkat sosialnya di atas rata-rata. Hal ini bisa meliputi para pendidik, pemikir, pengamat, cendekia, pengusaha, atau bahkan para eksekutif sekalipun. Sepanjang ybs mempunyai pengetahuan yang minim tentang ekonomi berjamaah, maka — mohon maaf — masuk dalam kategori “awam” di tulisan ini.
Kembali ke pembahasan, ekonomi berjamaah mempunyai sebuah misi suci yaitu bagaimana sekelompok orang mempunyai pemikiran untuk memajukan perekonomian secara bersama-sama dan untuk bersama-sama. Di Indonesia, model bisnis ini dikenal sebagai koperasi. Istilah lainnya adalah co-operative (bahasa Inggris) atau ta’awuun (bahasa Arab).
Nah, barangkali kalau sudah menggunakan istilah koperasi, sebagian orang yang tadinya “benar-benar awam” bisa jadi “naik kelas” menjadi “tidak (merasa) awam”. Bagi generasi pra-milenial, istilah koperasi pastinya sudah dikenal. Bahkan menjadi bahan pembelajaran di sekolah. Namun bagi para milenial, mereka lebih mengenalnya sebagai sharing economy, yang sebenarnya mempunyai fondasi bersama yaitu sharing resource.
Koperasi juga menggunakan skema dan mekanisme yang sama dengan mendayagunakan sharing resource di sesama anggotanya. Hampir mustahil sebuah koperasi bisa bertahan tanpa partisipasi dan/atau kontribusi dari para Anggotanya. Setiap Anggota mempunyai keunikan, spesialisasi dan kelebihannya masing-masing, sehingga pendayagunaan resource ini, akan menghasilkan quantum keberhasilan yang luar biasa, bila dibandingkan dengan usaha sendiri.
Di Indonesia, dikena 3 jenis kelembagaan terkait sosial-ekonomi. Yang pertama adalah Yayasan. Yayasan adalah sebuah lembaga nirlaba (non-profit) yang tujuan pembentukannya semata demi kegiatan murni sosial tanpa mempunyai target ekonomi secara khusus. Setiap kelebihan dari hasil kegiatan pun harus kembali disalurkan ke pihak-pihak yang membutuhkan. Sebuah Yayasan murni tidak perlu memikirkan untung/rugi karena sifatnya sukarela dan sosial.
Bentuk kedua adalah Perseroan Terbatas (PT). PT adalah sebuah bentuk usaha yang tujuan utamanya adalah profit (murni ekononi). Sebuah PT murni, tidak perlu memikirkan kegiatan atau usaha berbentuk sosial, karena sebuah tindakan yang dilakukan harus diperhitungkan untung/ruginya. Singkatnya, there ain’t no such as a free lunch di sebuah PT.
Kedua bentuk di atas bertentangan satu-sama-lainnya. Walaupun dalam kenyataan sudah hampir mustahil kita temui bentuk Yayasan atau PT yang bersifat murni. Sudah bercampur unsur ekonomi di Yayasan, dan sebaliknya tersirat unsur sosial di sebuah PT.
Namun sebenarnya, di Indonesia dikenal sebuah bentuk usaha ketiga yaitu Koperasi. Koperasi adalah usaha yang menggabungkan unsur sosial dan ekonomi secara bersamaan dan berimbang. Koperasi hadir sebagai solusi kemakmuran bersama (di antara Anggotanya). Koperasi tidak bergerak untuk memperkaya seseorang atau sekelompok orang saja, melainkan secara utuh kemakmuran bersama. Koperasi tidak bergerak untuk melakukan pekerjaan sosial semata. Karenanya Koperasi melakukan pengelolaan organisasi yang seimbang antara menghasilkan keuntungan (ekonomi) dan membantu sesama (sosial).
Koperasi sebagai sebuah bentuk usaha ekonomi berjamaah, saat ini kehilangan “pamor” di negeri ini. Koperasi dianggap sebagai model bisnis zaman old, tidak keren, tua, obsolete dsj. Kesan yang tercipta adalah pengelola Koperasi adalah orang-orang “sisa” yang tidak mempunyai kompetensi dan/atau keahlian di bidangnya. Padahal, konsep Koperasi ini justru ditiru oleh orang di luar dan dijadikan sebuah fondasi penyelenggaran bisnis yang kekinian. Sharing economy dianggap sebagai model bisnis zaman now dan sangat kekinian.
Naah, dengan momentum yang ada saat ini, dimana Koperasi semakin menjamur dan menjadi incaran para pemikir untuk mengembalikan kejayaan perekonomian bangsa. Apakah kita akan berada di sisi luar, sebagai penonton atau berada di dalam sebagai pelaku usaha berjamaah ini. Pilihannya dikembalikan kepada kita.
Sekarang, tantangan yang ada adalah bagaimana menyamakan persepsi di antara orang-orang yang ingin menjalankan usaha berjamaah ini. Bagi orang yang terbiasa bergerak di PT, tantangannya adalah bagaimana membawa aura sosial kepada ybs agar unsur ekonomi bisa seimbang dengan pekerjaan “sukarela”. Bagi orang yang terbiasa bergerak secara sukarela di Yayasan, tantangannya adalah bagaimana membawa aura bisnis kepada ybs agar pengelolaan Koperasi tetap bisa menghasilkan nilai ekonomis kepada para Anggotanya.
Naah, bagi para pihak yang ingin bergabung ke dalam sebuah usaha ekonomi berjamaah, ingat peribahasa di atas, When in Rome, Act Like a Roman.
Kemanggisan, 24.02.2018