Menarik ketika orang bicara tentang lembaga pernikahan. Sebagian besar orang lebih meributkan akan kesiapan finansial (baca: modal) calon pasangan yang akan menikah. Menariknya, justru bukan membahas mengenai kelembagaan pernihakan itu sendiri. Mengapa bukan dibahas, bagaimana ke depannya pasangan yang menikah (dan hidup mandiri dan terpisah dari orangtua) bisa mapan.
Menikah, bias diidentikkan seorang anak yang akan hidup mandiri. Lepas dan terpisah dari (rumah) orang tuanya. Semua urusan di-handle sendiri, tanpa campur tangan atau kendali orang tua.
Dianggap, bahwa kemampuan finansial menjadi tolok ukura utama. Bila belum punya modal untuk membiayai kehidupan berkeluarga, seakan-akan dipaksa untuk jangan menikah dulu.
Kondisi ini seakan mendorong sebuah stigma, bahwa hanya yang kaya yang bisa / boleh menikah. Apakah pasangan yang masih merintis, stretching from zero, tidak bisa / boleh menikah?
Sekarang, mari kita bawa situasi di atas ke ranah perasuransian. Hal ini terkait spin-off. Ketika sebuah unit usaha mempunyai hasrat untuk mendirikan kelembagaan tersendiri, apakah faktor kemampuan finansial (baca: modal) akan tetap menjadi pertimbangan utama?
Kenapa bukan kelembagaan spin-off itu sendiri yang menjadi pokok pembahasan. Mengapa bukan dibahas, bagaimana ke depannya unit yang spin-off (dan berdiri mandiri dan terpisah dari Induk) bisa mapan.
Kembali, pelaku hanya ribut soal permodalan dan kesiapan-kesiapan lain. Bukan dari esensi kelembagaan spi-off itu sendiri.
Mohon maaf, tulisan ini kurang memenuhi standar penulisan saya pada umumnya dan menyiratkan aura emosional saya, karena secara jujur, saya pribadi enggan melakukan pembicaraan atau pembahasan dengan pihak-pihak yang tidak bicara soal lembaga pernikahan (spin-off) tetapi di finansial (modal).
Wallahu’alam bishshawab –