Idul Fitri adalah momentum (perekonomian). Momen dimana ratusan juta penduduk Indonesia teribat, baik secara langsung (merayakan) maupun tidak secara langsung (tidak merayakan tetapi tetap terpapar akan kegiatan ini).
Di masa ini, sebagian lainnya memilih melakukan silaturrahim dengan sanak kerabatnya yang berada di tempat lain. Setiap tahunnya terjadi migrasi singkat puluhan juta penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan ke daerah lain, dalam rangka “mudik”.
Apabila mengambil catatan dari kegiatan mudik di atas, terbayang sudah berapa besar perputaran roda ekonomi negara hanya dari sebuah momentum, Idul Fitri. Informasi yang diperoleh dari sebuah lembaga riset, IDEA, menyebutkan bahwa tahun 2017 ini terdapat 33 juta penduduk Indonesia yang melakukan mudik. Dari jumlah tersebut, diperkirakan terjadi perputaran uang mencapai 241 triliun. Wow, jumlah yang fantastis ya?
Bila dibandingkan dengan total GDP negara di bulan Maret 2017 sebesar 3.071 triliun, satu aktivitas mudik saja sudah hampir berkontribusi hampir 8 persen. Luar biasa. Dengan kondisi ini, suka-tidak-suka, mau-tidak-mau, siap-tidak-siap, menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah. Hitungan di atas, baru meliputi kegiatan mudik saja, belum termasuk hitungan perputaran uang selama Ramadhan. Pasti angkanya akan jauh lebih besar karena meliputi jumlah penduduk yang terlibat, yaitu mencapai 200 juta. Bisa jadi, setidaknya 20% GDP Indonesia, terkontribusi dari kegiatan Muslim sepanjang Ramadhan.
Bila kita telaah lebih jauh, walaupun tanpa menggunakan data maupun survei, namun secara nalar dan kasat mata, akan terpapar dengan gamblang besaran roda perekonomian terkait Ramadhan ini.
Pertama, mayoritas Muslim Indonesia menggunakan momentum Ramadhan untuk menyalurkan zakat, infaq dan shadaqahnya di bulan ini. Potensi zakat saja di Indonesia sudah mencapai kisaran 70 triliun, itu di luar infaq dan shaqadah.
Yang kedua, belanja bukaan sepanjang Ramadhan (sering disebut sebagai ta’jil… walaupun makna sebenarnya kurang tepat). Dengan pasar sebanyak 200 juta penduduk Muslim, silakan diperkirakan jumlahnya sendiri.
Yang ketiga, belanja keperluan Idul Fitri. Masih melekat di kalangan Muslim tanah air, bahwa momentum “hari kemenangan” turut diwarnai dengan pakaian (serba) baru. Kembali, silakan dihitung berapa besaran jumlahnya. Silakan ditambah dengan konsumsi kue dan makanan hidangan bagi para tamu di hari-hari Idul Fitri. Bagi para pedagang, momentum ini merupakan titik penjualan terbaik mereka sepanjang tahun. Bila tidak percaya, silakan cek di toko sebelah 😛
Yang keempat, dan seterusnya silakan ditambahkan sendiri, bisa jadi masih banyak pengeluaran lainnya yang belum saya sebutkan di atas.
Alhasil, roda perekonomian Indonesia masih bertumpu pada aktivitas Ramadhan. Sayangnya, momentum Ramadhan yang seharusnya digunakan untuk “menahan diri” justru menjadi ajang “pengeluaran ekstra” atau bahkan “pemborosan”.
Apa jadinya bila umat Muslim Indonesia, berpikir untuk memakmurkan masjid ketimbang melakukan kegiatan-kegiatan duniawi di atas ya? Penuhi masjid atau mushalla untuk beribadah, ketimbang berdesakan di pasar, mall, pertokoan, supermarket atau tempat belanja lainnya.
Salaam hemat, merdeka!