Beberapa waktu lalu, di sebuah kedai makan, saya melihat seorang Bapak dengan putranya. Mereka melangkah memasuki tempat makan sembari berbincang. Entah, apa yang dibicarakan, karena saya juga tidak mencuri dengar, dan lagi sepertinya bukan urusan saya mencari tahu …. #kepo dech 😛
Sang Bapak berpakaian sipil lengkap, sementara anaknya berpakaian santai, t-shirt, celana jeans dan sepatu kets. Dugaan saya, anak tsb berusia 14-16 tahunan, atau di kisaran akhir SMP atau awal SMA.
Sejurus kemudian mereka memesan makanan. Saya sendiri sekilas memperhatikan mereka dan sempat terbersit rasa iri di hati. Sebuah situasi yang langka, di jaman sekarang ini, terlihat harmonis, ayah dan anak.
Setelah selesai memesan makanan, dalam kondisi yang nyaman dan duduk bersandar, ternyata keadaan berubah 180°. Masing-masing mulai mengulurkan tangannya ke tempat mereka menyimpan gadget.
Sang Bapak meraih ke tas tangan dan sang anak sedikit membongkar tas sling.nya. Keduanya mempunyai sebuah kesamaan. Sama-sama mencari HP.
Kehangatan yang tadi terlihat, seketika sirna. Keduanya pun mulai sibuk dengan gadgetnya. Saya yang tadinya enggan mengambil pusing apalagi kepo, tergerak untuk terus memperhatikan keluarga ini.
Saya memperhatikan, tidak kurang dari 20 menit, sampai pesananan makanan dihidangkan, keduanya benar-benar sibuk dan disibukkan dengan gadgetnya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar di antara mereka.
Saya pun mengucap istighfar. Berdoa, semoga sikap dan kelakuan seperti ini tidak saya alami. Berdoa semoga hal ini tidak saya lakukan ke anak atau keluarga saya.
Kehangatan yang sebelumnya ada, hilang hanya karena gadget. Saya berdoa, apabila saya diberi umur panjang, dapat saya gunakan sepenuhnya untuk menjaga kehangatan di keluarga saya.
Ya Rabb, jauhkanlah hamba-Mu ini dari menyia-nyiakan waktu.
Aamiin ~
Tag: family
Ayah Kami – Bagian 1
Kisah seorang Ayah yang menjadi sosok pahlawan bagi keluarganya
– Bagian 1 –
Pada kesempatan ini saya ingin berbagi kisah tentang sosok ayah kami. Ayah kami sebenarnya adalah sosok orang biasa tetapi merupakan pahlawan bagi kami, ke-enam anak dan satu orang istrinya.
Beliau adalah tipikal pekerja yang mengabdi bagi perusahaan tempatnya bekerja. Beliau bukanlah tipikal kutu loncat. Tidak pula “berpolitik”. Pastinya bukan (maaf) butt kisser.
Puluhan tahun beliau mengabdi di industri asuransi nasional. Sempat pula menduduki jabatan di Dewan Asuransi Indonesia di era 80an.
Pertemanan dan bersosialisasi dengan pihak (re)asuransi asing, sepertinya membuka mata dan wawasannya bahwa masih ada “sisi baik” orang dan negara asing.
Sepertinya, itulah yang menjadi fundamental “investasi” ayah kami kepada anak-anaknya. Alhamdulillaah, semua putera-nya mengenyam pendidikan dan pernah tinggal di negeri-negeri dan benua-benua yang tersebar. Mungkin, jikalau mungkin, Kakak tertua kami masih hidup, bisa jadi beliau juga berkesempatan melanjutkan studi di luar negeri. Wallahu’alam bish shawab.
Ayah kami berinvestasi pendidikan bagi putera-puetranya. Saya sendiri kelak baru menyadari, bahwa “investasi” ayah kami pun ter-diversifikasi dan tersebar di seluruh belakan dunia. Ada yang mengenyam pendidikan di Amerika, Inggris, Hong Kong, Singapore dan Australia. Jadi hampir di seluruh benua ada jejak investasi beliau.
Kami sendiri bukan keluarga yang hidup bermewah-mewah. Bahkan boleh dibilang, keluarga biasa, yang terkadang ayah kami pun masih merasakan kesulitan likuiditas di penghujung bulan. Tetapi untuk satu hal, pendidikan, ayah kami akan melakukan yang terbaik bagi putera-puteranya.
Ayah kami juga bukanlah tipikal yang memanjakan anak-anaknya dengan kemewahan. Mungkin itu juga yang mendidik kami menjadi survivor dan fighter.
Saya sendiri masih ingat, setelah lulus kuliah dan sebelum kerusuhan melanda Indonesia, saya sempat “nge-tes” ayah kami dengan meminta mobil. Tetapi ayah kami, tidak bergeming. Malah ketika saya berhasil mendapatkan bea siswa (partial) British Council Jakarta, beliau mendorong keinginan saya untuk melanjutkan kuliah di Inggris. Padahal beberapa tahun sebelumnya, Abang di atas saya, sudah tinggal di negeri Paman Sam selepas SMA.
Di akhir hayatnya, beliau pun masih memikirkan nasib perusahaan yang dipimpinnya. Saya ulangi, ayah kami adalah tipikal pekerja dan pengabdi. Beliau bukan pemegang saham dan tidak punya kepentingan akan perusahaan, kecuali menjalankan dengan sebaik-baiknya.
Dalam usia senja dan keadaan dimana seluruh anak-anaknya (boleh dikatakan) sudah mandiri, beliau masih ingin terus bekerja. Di usia 70an pun beliau masih menyetir sendiri mobilnya ke kantor.
Kami semua puteranya sudah memberikan saran, sudah waktunya beliau beristirahat. Beliau sudah waktunya menikmati waktu lebih banyak di rumah.
Tetapi tidak bagi beliau. Ketika aturan regulasi “memaksa” perusahaan asuransi kecil memenuhi modal minimum, beliau termasuk yang paling keras berupaya mencari solusi bagi perusahaannya. Kami sangat yakin, upaya tersebut dilakukan beliau semata karena memikirkan nasib karyawan. Semisal, perusahaan gagal memenuhi aturan minimum modal, tentunya perusahaan akan tutup.
Kami semua dengan “ego” kami sempat berucap, “Sudahlah yah, biarin aja, ayah pun ga’ dapet apa-apa dari situ.” Pernyataan sikap kami, semata karena kami “kasihan” bahwa ayah kami berjuang mati-matian membela nasib karyawannya. Sementara kami merasa, bahwa karyawannya pun sebenarnya “cuek” saja, atau mungkin pasrah pada keadaan.
Namun bukan ayah kami, bila ia menyerah setengah jalan. Alhasil beliau berhasil, memasukkan investor baru. Ujungnya malah didepak oleh pemilik baru (* tepok jidat).
Tapi itulah kehidupan, ayah kami tidak hitung-hitungan soal itu. Yang penting adalah beliau berupaya semaksimal yang bisa dilakukannya.
End of Part 1 :
To be continued ~
~ posted by @erwin_noekman erwin@noekman.com for erwin-noekman.com with disclaimer on ~