Tergerak saya untuk menulis tema di atas, sepertinya ada salah dalam penyampaian maksud ke rekan-rekan saya atau bisa jadi kerabat saya yang salah mengartikan ucapan saya.
Menjadi panutan bagi anak, tidak melulu harus sukses di karir, begitu pendapat seorang teman yang menerjemahkan perkataan saya.
Bukan bermaksud membela diri, tetapi mudah-mudahan tulisan ini bisa membantu memberi pemahaman yang sesungguhnya dari maksud saya.
Yang saya maksud dari penyampaian saya adalah bahwa setiap orang, utamanya laki-laki, ketika keluar rumah, mempunyai kewajiban ber-ikhtiar dan melakukan yang terbaik.
Ketika berada di tempat kerja, adalah kewajibannya melakukan yang terbaik. Bagi saya sendiri, tempat kerja adalah media belajar yang bisa memberikan kita kecerdasan, baik mental maupun spiritual. Ketika pekerjaan menuntut tingkat pengetahuan dan kompetensi tertentu, menjadi kewajiban kita untuk memenuhinya.
Yang sebenarnya saya maksudkan adalah bahwa setiap orang berkewajiban menjadi lebih baik (baca: bedakan dengan sukses). Lebih baik disini artinya lebih baik dalam pelayanan, lebih baik dalam pekerjaan, lebih baik dari sisi pengetahuan, lebih baik dalam berkomunikasi, lebih baik dalam menerima keadaan, lebih baik dalam menangani case, lebih baik dalam menjaga hubungan antar-manusia, lebih baik dalam beribadah, dan lain-lain lebih baik.
Kewajiban manusia adalah berbuat lebih baik. Soal rezeki, itu semua domain Allah azza wa jalla. Tetapi pastinya, Allah sudah berfirman, nasib seseorang hanya akan berubah atas ikhtiarnya sendiri [QS.13:11].
Kita pun diwajibkan untuk berbuat lebih baik, dari hari ke hari. Karena apabila kondisi kita di hari ini sama dengan kemarin, kita termasuk orang merugi. Celakanya lagi bila kondisi kita hari ini lebih buruk dari kemarin.
Maksud penyampaian saya sebenarnya adalah mengambil kisah nyata yang saya alami sendiri. Kisah almarhum ayah kami, benar-benar menjadi inspirasi hidup saya. Sebagai informasi buat semua, kami bukan berasal dari keluarga tajir.
Saya, sebagai seorang anak, menjadikan ayah kami sebagai panutan. Kembali, bukan karena “sukses” beliau, melainkan semangat dan kemauan beliau untuk terus menjadi lebih baik.
Beliau memang memulai dari (sangat) bawah. Awal perjuangan merantau sejak usia belasan tahun beliau hijrah dari tanah asalnya di tengah hutan Sumatera, menuju ibu kota. Kerja apapun dilalui beliau sepanjang legal dan halal. Beliau pun menghidupi dirinya sendiri dan biaya sekolah dengan menjadi kuli. Ya kuli, K-U-L-I. Saya lebih “bangga” menyebut pekerjaan beliau kuli ketimbang “diperhalus” dengan istilah buruh.
He started from the scratch. From zero to hero.
Belajar dan memperbaiki diri tidak memandang usia. Jujur, saya tidak melihat “sukses” ayah kami sebagai inspirasi saya. Tapi tekad dan semangat beliau lah yang menjadi inspirasi saya. Ayah kami menjadi inspirasi (baca: panutan) karena beliau sendiri tidak malu dan tidak sungkan untuk belajar. Saya masih ingat, bahwa ketika saya masih kelas 3 SD, kami masih menjemput ayah kami di malam hari karena baru pulang belajar bahasa Inggris. Artinya ketika itu, ayah kami sudah berusia ½ abad. Di usia “sepuh” seperti itu beliau tetap berusaha memperbaiki diri, menambah kompetensi dan pengetahuan. Inspirasi ini yang saya jadikan panutan.
Saya sendiri, bukan serta merta bekerja mendapatkan posisi enak dan nyaman. Di awal-awal saya bekerja pun, saya naik-turun angkot. Bahkan untuk berhemat, saya pun membawa “bontot” (bekal makan siang) ketimbang membeli makan siang di kantor. Rekan-rekan kantor dulu pun (mungkin) terkaget-kaget melihat sikap saya seperti itu.
Malu, tidak ada di kamus saya. Selama halal, saya kerjakan dan lakukan semua upaya.
Pernah pula saya ke kantor kala itu di Tangerang, membawa barang jualan berupa dompet pria dan wanita sekitar 70 buah. Saya masih ingat, saya membawa 1 travel bag khusus buat barang dagangan. Alhamdulillaahirabbil áálamiin, ludes semua dibeli rekan-rekan kantor waktu itu. Padahal saat itu, saya meyakini bahwa saya bukanlah marketer. Tetapi setelah habis semua barang dagangan itu dalam sehari jualan, saya bersyukur, bahwa saya dipercaya.
Satu hal yang saya catat dari berdagang, seperti kisah Rasulullah, dibutuhkan kepercayaan bagi pembeli untuk membeli barang atau jasa kita.
Kembali ke laptop.
Nah, kisah ini yang sebenarnya ingin saya sampaikan ke rekan-rekan saya di kantor. Bahwa kita (termasuk saya sendiri) mempunyai kewajiban memperbaiki diri, selebihnya (rezeki, jodoh, ajal) biarlah Allah yang mengaturnya.
Jadi, yuk kita sama-sama berbuat lebih baik lagi, buat kita sendiri, buat keluarga, buat sesama dan buat alam.
Wallahu’alam bish shawab ~