Melihat seorang mahasiswa membawa “bontot” mengingatkan saya akan kondisi serupa 19 tahun lalu. Di awal abad milenia ini, ketika saya “menemukan kembali” jatidiri saya, saya bertekad meninggalkan kemewahan yang bukan berasal dari hasil keringat saya sendiri.
Salah satunya, sebagai bentuk “tindakan rasional” saya pun membawa “bontot” (bekal) ketika berangkat kerja. Ketika itu saya masih bekerja di kawasan Karawaci, dan tinggal di kawasan Jakarta Barat.
Bekal yang saya bawa cukup bermanfaat, selain lebih sehat juga jelas menghemat biaya.
Seiring waktu, sepertinya kesibukan lebih menyita waktu untuk dapat menyempatkan diri menyiapkan bekal (makan siang).
Dalam perjalanan Jakarta – Depok